Stigma||07|

1.2K 122 4
                                    

Terimakasih telah mampir ke cerita ini

Jangan lupa tinggalkan jejak🙏🏻
Votmen jusseyo👍🏻

Happy reading!!
________________________

K

icau burung bertengger pada dahan terdengar bersahutan, gesekan antar daun, dan aroma pengharum ruangan wangi lavender berkolaborasi dengan bau obat menemani hariku. Masih teronggok diatas brankar yang membosankan. Namun, setidaknya sudah bisa duduk, keluar kamar sesekali ditemani perawat dan kursi roda, sudah seperti sakit keras saja kan.

Gesekan pintu terdengar, derap langkah kecil muncul setelahnya diiringi pekikan dengan suara khas anak kecil. Setan kali ya.

"Ka Epin!!!" kutoleh perlahan asal suara. Berdoa semoga bukan makhluk lelembut yang memanggil. Renata, gadis kecil itu rupanya yang berseru. Sepupu kecilku masih dengan balutan seragam SDnya berdiri tak jauh dari ranjangku dengan senyuman lebar diwajahnya, untung tidak sampai seperti joker. Tak lupa tangan kanannya menenteng parsel buah.

"Hai, bantet" seketika senyumannya hilang. Semakin mendekatiku dengan kaki terhentak, kesal rupanya.

"Ish. Nata gak bantet!!"protesnya.

"Gendut? Bogel?"

"Kak Epin ish, nyebelin" pipinya yang bulat semakin membulat saat pemiliknya menggembungkannya kesal. Bibirnya mencebik lucu, ditarik sepertinya seru.

Kedua tangannya mengangkat parsel buah yang sedari tadi diteteng, kaki pendeknya berjinjit dia berusaha menaruh buah tangannya ke atas nakas. Rupanya dia kesusahan, sebelum buah itu terjatuh dari genggamannya dan berakhir mengenaskan dilantai, kuambil dan letakkan ditempat seharusnya.

"Kesini sama siapa tadi?"

Belum juga si bocah menjawab, pekikan atau lebih tepatnya teriakan kembali terdengar setelah pintu bergeser, sekarang suara berat lelaki.
"LEVIN YUHUU!!"

"Berisik bego!" toyoran mengenai kepala pelaku teriakan.

"Rumah sakit tolol!" sahut lainnya setelah memukul kepala manusia yang telah berteriak.

"Kalian ini. Masuk, jangan bertengkar di depan pintu gitu" lerai papa yang rupanya datang bersama tiga lelaki yang sialnya temanku itu.

"Halo abang abang" sapa Renata setelah semua masuk, buat sempit saja.

"Halo Nata" balas mereka ramah.

"Uncle. Uncle, Nata mau sama kak Epin. Bantuin naik dong!"

"Ikut di tempat tidur kak Levin?" Renata mengangguk semangat. Serem juga itu kepala kalau copot saking semangatnya mengangguk.

"Jangan nakal tapi ya! Tau kan badan kak Levin sakit? Jangan pegang yang sakit! Oke" setelahnya papa mengangkat Renata, menempatkannya bersamaku diatas ranjang.

"Levin mau sesuatu? Papa cariin kalau mau, asal tidak aneh-aneh"

"Susu pisang ya pa. Sate ayam sama sate jerohan kayaknya enak" membayangkan betapa nikmatnya.
"Ceker mercon, sama seblak ya pa" imbuhku.

"Papa beliin susu pisang sama bubur ayam aja ya. Permintaanmu yang lain meresahkan" apa boleh buat, iyain ajalah daripada papa nantinya ngomel panjang.

"Kalian juga mau apa? Sekalian nanti Om beliin." tawar papa. Yang ditanya menggelengkan kepala, sadar diri kali ya mereka. Renata juga menolak, padahal biasanya semangat minta ciki ciki.

"Yaudah. Om keluar dulu ya, titip Levin ya anak-anak"
Setelah papa keluar, tiga manusia yang tadi hanya duduk diam beranjak mendekat ranjang ku.

"Nata gembul banget sih, pengen gigit" pipi Renata diuyel-uyel saking gemesnya sampai merah.

"Sha, anak orang itu. Pipinya sampe merah, gila"
Rasha, si penguyel-uyel nyengir setelah ditegur Richard.

"Bang Acha jelek" celutuk Renata. Rasha cemberut mendengarnya sedang yang lain menertawakannya.

"Gimana keadaan lo?" kini giliran Leon yang bersuara.

"Lebih baik" jawabku seadanya. Kalau ditambah garam, lada dll, maka jadilah masakan.

"Syukur deh. Selama lo absen si Jane kaya neror kita. Ngintilin kemana-mana buat nanyain lo doang. Gak kebayang sih gimana risinya lo dirusuhin itu manusia hampir tiap hari"

"Serem banget sumpah. Merinding gue deket itu manusia" gerutu Richard.

"Udah lah, gak usah bahas Jane lagi. Biarin aja dia, nanti juga cape sendiri. Ya ga Vin?" kusetujui dengan anggukan pelan.
"Ini catatan selama lu absen. Kita bertiga udah nyalin dari orang terpercaya dikelas kita, ya lo tau sendiri catatan kita bertiga itu ga pernah lengkap"Lanjut Leon.

Setumpuk buku sudah berada di pangkuanku. Ah, beruntungnya memiliki teman yang perhatian dan baik hari seperti mereka. Walaupun terkadang kelakuan mereka menjengkelkan.

"Makasih ya!"
"Santai lah kaya sama siapa aja lu. Btw, sepi terus ruangan lu. Mama lo sama Kevin mana?"tanya Richard.

"Ga tau. Kevin nunggu jadwal operasi, mungkin. Ada pendonor"

"Ya, tapi masa Tante Fida lepas tangan aja sama keadaan lo. Lo kan juga anaknya Vin, tanggung jawabnya juga. Setidaknya liat  keadaan lo saat ini gitu"

"Udahlah Sha. Gue ga papa juga–" Nata yang biasanya bawel, tidak terdengar suaranya. Saat kulihat, dia sudah tertidur disampingku.
"–Nata tidur. Jangan berisik"

**

Hiruk-pikuk kota seakan tidak pernah berhenti, bahkan disaat malam hadir. Tidak ada matinya.

Setelah lebih dari seminggu harus terkurung di ruangan berbau obat, akhirnya kini aku bisa menghirup udara bebas kembali.

Saat aku keluar, Kevin masuk kedalam. Jadwal operasinya sudah didepan mata, dia harus istirahat di rumah sakit sebelum operasinya dilakukan. Mama? Tentu saja menemani Kevin lah.

"Vin, lo beneran udah sehat kan?" ini pertanyaan kesekian kalinya yang kuterima hari ini.

"Kalau ga sehat ga disini"

"Wajah lo itu masih pucat Vin. Om Devan ga tau lo masuk kan, kalau tau ga mungkin lo diijinin sekolah hari ini."

"Bawel"

Benar kata Leon, papa tidak tahu aku sekolah hari ini. Beliau taunya aku masih bergulung dibawah selimut tebalku. Aku menyelinap keluar turun dari balkon kamarku yang entah beruntung atau bagaimana terdapat tangga disana.

"Om Devan pasti marah pas tau lu nyelinap keluar buat masuk sekolah disaat kondisi lo belum benar-benar sehat"

"Diem Sha. Pusing gue denger lo bertiga ngoceh dari tadi."

"Heh! Lo mau kemana Vin?!!" tanya mereka saat aku beranjak meninggalkan mereka.

"Uks, tidur"

"IKUT!!!" teriak mereka bersemangat.

Untung sayang, untung teman, kalau bukan ingin rasanya menceburkan mereka keselokan.

"Levin~. Kamu kok lama ga masuk sih? Jane kangen tau~. Ih, wajah kamu kok pucat? Kamu sakit ya? Ya ampun sayang~"

Ya Tuhan, apalagi ini.

"Be.ri.sik.!"
Setelah berhari-hari tenang tanpa gangguan Jane, sekarang dia muncul lagi.
Lambaikan bendera putih sudah.

STIGMAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant