1. Kembaranku, Raffa

123 26 38
                                    

Aku menggigit roti yang menjadi sarapanku pagi ini. Aku lirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Rasanya seperti bernostalgia saja jika ingat dulu kalau pagi-pagi seperti ini aku sudah berada di sekolah. Mengobrol tidak penting dengan teman sebangku sembari menunggu lonceng berbunyi. Tapi tidak berlaku untuk sekarang. Karena kehidupan perkuliahan itu sungguh berbeda dengan sekolah dimana aku harus datang tepat waktu jika tidak berakhir di hukum oleh guru piket.

Jadwal perkuliahan itu fleksibel, bisa kapan saja sesuai bersedianya sang dosen untuk mengajar. Bahkan aku pernah mendapatkan jadwal di sore hari, saat beberapa mahasiswa berbondong-bondong untuk pulang melepas penat. Sedangkan aku sendiri baru memulai kegiatan. Pernah juga suatu hari aku kebagian jadwal di pagi buta, bahkan mungkin beberapa mahasiswa baru bergegas menuju kamar mandi sedangkan aku sudah duduk manis di kelas. Ya, begitulah memang sedikit cerita dari kehidupan seorang mahasiswa. Awalnya sedikit mengejutkan, namun lama-lama terbiasa juga.

Ngomong-ngomong tentang jadwal perkuliahan. Sebenarnya hari ini aku ada kelas pukul setengah 9. Masih lama memang dari sekarang. Tapi aku sengaja berangkat pagi-pagi sekali karena—

"Raffa belum bangun?"

Aku menghadapkan wajahku ke sumber suara. Dari jangkauan beberapa meter jarak posisiku berada, sudah berdiri disana seorang wanita paruh baya—sedang mengenakan apron berwarna jingga sembari membawa piring di tangan. Sosok wanita yang menjadi alasan utama keberadaanku sekarang. Iya benar, beliau adalah mamaku tercinta. Orang yang sudah melahirkanku ke dunia.

"Raffa pasti masih molor jam segini, Ma," jawabku masih terus menggerakkan rahang berisi penuh roti yang bersesakan.

"Terus kamu berangkat gimana?"

"Naik ojek online aja," jawabku santai.

"Minta anter Raffa aja, dia nggak ada kuliah juga hari ini," balas mama cepat. "Bentar ya Mama bangunin—"

"JANGAN!" sergahku cepat. Bahkan aku sampai berdiri dari posisi dudukku sekarang sambil menaikkan sebelah tanganku sebagai sebuah bentuk aksi penolakan.

"A-aku nggak mau repotin Raffa, Ma," jawabku sekenanya.

Mama menatapku heran dengan kernyitan kening begitu dalam. Dari raut mama, sudah begitu jelas terbaca kalau mama menentang keras kalimatku barusan. "Ngerepotin gimana? Justru itu kewajiban Raffa buat nganter adiknya kuliah. Mama lebih percaya kamu berangkat sama Raffa di banding naik ojek."

Aku menghela napas pasrah mendengar penuturan mama. Ah, mama tidak tahu saja kalau sebenarnya laki-laki bernama Raffa itulah yang menjadi alasan terkuat bagiku memilih berangkat dengan ojek online.

Berbicara tentang Raffa, dia itu kembaranku. Kami lahir di hari yang sama, hanya selisih waktu 2 menit saja. Raffa lebih dulu menyapa dunia. Jadi di antara kami berdua yang menjadi anak tertua ialah Raffa. Sedangkan aku berada di posisi lebih muda. Kami tumbuh berdua, tiada saudara lagi setelah itu. Mama bilang, dua anak saja sudah cukup. Beliau tipikal orang yang tidak terlalu suka memiliki banyak anak. Apalagi waktu tahu kami terlahir sepasang. Sudah, tidak ada alasan lebih lagi bagi mama untuk menambah keturunan.

Suara derit pintu terbuka mengalihkan atensiku dan mama menuju sumber suara. Tampak Raffa si kembaranku—dengan rambut yang masih acak-acakan dan mulut menguap begitu lebar berdiri lesu di bibir pintu.

"Fa, anter Nafa ke kampus," titah mama.

Raffa memicingkan matanya sejenak. Dengan masih mengumpulkan segala kesadaran, ia mengucek mata sambil terus memperhatikanku lamat menggunakan mata sipitnya.

"Lah, kamu ngga bilang ada kuliah pagi. Bukannya hari ini jadwal setengah 9?" heran Raffa.

Aku mendengus, bagaimana bisa Raffa ingat sedetail itu jadwal perkuliahanku.

Kembar PosesifWhere stories live. Discover now