3. Maaf

38 13 26
                                    

Aku mendengar pintu kamarku diketuk dari luar. Dengan langkah malas aku berjalan menuju arah pintu. Bermaksud untuk membukanya. Setelah pintu itu terbuka, barulah aku bisa melihat sosok tinggi yang berdiri di depan sana. Raffa—dengan kantong plastik berwarna putih yang kini ada di pegangannya telah tersenyum lebar menampakkan lengkung sabit di kedua matanya.

"Martabak manis kesukaan Nafaaaaa," pamernya padaku.

Aku menghela napas pelan saja. Merasa enggan merespon Raffa hingga kudorong lagi pintu kamar hendak menutupnya.

"Naf!" tahan Raffa cepat. Membuat pergerakanku berhenti dan aku lekas mengalihkan perhatian pada wajah Raffa yang kulihat sudah mencebik.

"Minggir." Aku berujar ketus.

"Jutek banget ih kek pacar."

"Aku bukan pacar kamu."

"Ya 'kan kamu adik kecil aku."

"Aku juga bukan adik kecil kamu."

"Berarti kamu anak pungut dong."

Aku berdecak mendengar jawaban konyol Raffa. "Kenapa lagi sih?!"

"Maaf," ucapnya. "Buat yang tadi siang, aku minta maaf."

Aku melepaskan genggaman tanganku pada gagang pintu. Kini kutatap wajah Raffa yang sudah tampak begitu menyesal sekarang.

"Naf, aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa," tambahnya lagi.

Aku memutar bola mataku malas. Kalimat yang selalu sama Raffa lontarkan padaku. Aku bosan mendengarnya.

"Dengerin aku, Naf," pintanya. "Aku cuma punya kamu sama mama di dunia ini. Dan kalian berdua adalah kewajiban aku buat aku jaga. Gimana kalau nanti papa tanya aku dari surga? Gimana kalau papa marah sama aku karena nggak bisa jagain malaikat-malaikatnya?"

Aku diam. Aku tidak bisa menjawab. Raffa ada benarnya. Sejak kepergian papa beberapa tahun lalu, sejak itu juga Raffa menjadi sosok kuat pengganti papaku.

"Naf, aku cuma mau jadi saudara terbaik buat kamu. Aku cuma mau jadi pengganti sosok papa buat kamu. Apa aku nggak boleh ngelakuin itu?"

Aku memejamkan mata kuat mendengar hal tersebut. Bahkan napasku sudah naik-turun semakin tidak beraturan sekarang.

"Sosok papa nggak akan pernah ada penggantinya, Raffa. Terus, menurut kamu saudara terbaik itu caranya begini? Kalau kamu mau emang mau jadi saudara terbaik, kamu harusnya biarin aku hidup bebas. Aku merasa terkekang sama sikap kamu selama ini, Fa!"

"... Kamu kira bagus larang aku ini itu. Ngikutin aku kemana-mana. Manjain aku kek anak kecil. Fa, kasih aku kesempatan jadi dewasa. Tolong, aku minta sama kamu Raffa!" teriakku kesal.

Aku tidak kuat lagi menahan air mataku untuk jatuh. Hingga detik berikutnya kudorong Raffa menjauh dari kamarku. Aku benci Raffa. Aku benci dia!

"Naf, maaf kalau sikap aku selama ini buat kamu terganggu. Aku sayang kamu, Naf."

______

Dara mengambil duduk di bangku sampingku. Dari ekor mataku, kulihat dia yang sudah memangku dagu sambil menatap ke arahku.

"Kenapa?" tanyaku tanpa menoleh.

"Berantem lagi sama Raffa?" tanyanya.

Aku mengembuskan napas pelan. Kenapa lagi Dara harus membahas Raffa sekarang?

"Naf, lo itu kenapa deh?" tanya Dara. "Lo harusnya bersyukur punya saudara sebaik Raffa."

Aku menutup bukuku kasar mendengar kalimat Dara. Kutatap matanya tajam, membuat Dara sedikit takut.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 24, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kembar PosesifWhere stories live. Discover now