(MafuTsuki) Regret

214 24 12
                                    

Kau berjalan tak tentu arah dimalam yang dingin, terus melangkah dan melangkah tanpa tau tujuan. Pikikiranmu kosong dan kau tak tahu apa yang sebenarnya sedang kau lakukan.

Yang kau ingat hanya mata merah bak rubi yang penuh kilauan, senyuman manis, airmata penyesalan, dan batu nisan yang dingin diguyur hujan.

Lalu kau mengerang, sambil tetap melanjutkan langkahmu.

Tap! Tap! Tap!

Ditengah malam yang begitu gelap dan hening, hanya bunyi langkahmu yang dapat kau dengar. Sebenarnya akan lebih menyeramkan kalau kau mendapati adanya bunyi langkah lain. Siapa yang tahu jika itu pembunuh berantai yang ingin membunuhmu kan?

Haha. Mustahil.

Di kegelapan, kau tersenyum memikirkan hal konyol yang sempat terlintas dibenakmu.

Bodoh, pikirmu.

Kau masih melanjutkan langkahmu, entah kemana kakimu membawamu. Kau sendiripun tak tahu.

Angin malam yang membelai tubuhmu tak kau hiraukan. Toh indra perasamu sudah tak berfungsi lagi.

Tap! Tap! Tap!

Suara langkahmu yang monoton masih menjadi satu-satunya pengisi keheningan malam.

Dalam hati, kau mulai mengira-ngira berapa langkah yang sudah terlewat? Puluhan? Ratusan?

Entahlah. Kau sudah tak tahu lagi.

Masih sambil berjalan, kau menengok keatas. Hanya kegelapan yang bisa manik serupa darahmu lihat. Seolah-olah bulan dan bintang sekalipun enggan menampakkan diri padamu.

Pada dirimu yang busuk.

Mungkin saja mereka tahu akan dosa-dosamu. Dosa-dosanya. Dan juga...

Dosa-dosa kalian.

Kau mendadak tertawa, terbahak seolah-olah hal yang ada dipikiranmu selucu lawakan tengah malam yang sering kalian tonton berdua dulu.

Ya, dulu.

Waktu lampau dimana kegilaan belum menguasai kalian. Waktu dimana kalian masihlah pasangan normal yang hidup bahagia. Saling mencintai. Kau mencintainya, dan dia juga mencintaimu.

Ah.

Rasa itu lagi.

Kau memegangi dadamu. Sesak selalu merambati relung hatimu saat kau mengingat tentangnya dan masa lalu kalian yang sudah kau kubur rapat-rapat.

Tap! Tap! Tap!

Langkahmu masih berlanjut. Begitupun ingatanmu tentangnya.

"Sesak..." Kau mengerang pelan.

Berjalan menghentak, kau berusaha keras mengalihkan rasa sakit dihatimu kepada kedua kakimu yang terus melangkah.

Sakit. Kau benci ini.

"Kita hentikan semua kegilaan ini... Aku sudah tidak bisa lagi... Ini semua membuatku gila..."

Perkataannya pada malam dimana badai berkecamuk kembali menghantuimu.

Berhenti?

Bagaimana dia bisa dengan mudahnya mengatakan hal itu setelah semua dosa dan kegilaan yang sudah kalian lakukan? Waktu itu kau benar-benar tidak habis pikir dengan ucapannya.

Tidak waras, pikirmu saat itu.

"Aku sudah tidak sanggup lagi. Semua kegilaan ini terus menelanku. Aku benar-benar gila..."

Setelah terperosok begitu dalam, dia malah berbicara begitu. Kau tidak mengerti dengan pola pikirnya. Bahkan jika kalian berhenti sekalipun, dosa kalian akan tetap ada. Semua sudah terjadi.

Utaite OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang