2

1.9K 373 27
                                    

Ares


Dulu gue suka banget sama yang namanya keramaian. Tapi sekarang, gue bakal bilang, "Nggak, makasih."

Gue lebih memilih buat nongkrong di rooftop teknik yang biasanya digunakan buat penyimpanan barang-barang gak terpakai atau lebih tepatnya biasa disebut dengan sampah. Sama kayak pendapat kebanyakan orang tentang gue.

Tenang aja, gue gak pernah peduli kok. Lagi pula gue tahu, di luar sana masih banyak yang diam-diam memuji gue karena prestasi akademik yang lumayan, juga penampilan yang bisa dibilang oke. Nggak bermaksud kepedean, tapi semua ini berdasarkan apa yang gue dengar selama gue kuliah di sini. Yah, meskipun jumlahnya tetap sebanding dengan banyaknya orang yang menyayangkan kepintaran juga penampilan gue karena menurut mereka sifat gue bertolak belakang dengan semua kelebihan yang gue miliki.

"Sayang banget, ya. Padahal si Ares pinter."

"Ares yang anak Geologi? Yang agak nakal itu?"

"Damares tuh padahal cakep, tapi sifatnya no banget ah."

Gimana? Udah cukup kan ngegambarin gimana terkenalnya gue di kampus tercinta ini?

Sebenarnya alasan gue memilih buat menyendiri bukan karena semua gossip dan omongan gak jelas itu. Gue cuma merasa kalau gue lebih baik sendiri, nggak kenal siapa pun, karena menurut gue nggak akan ada yang bisa gue andalkan kecuali diri gue sendiri.

Gue tahu, yang namanya manusia itu makhluk sosial dan bergantung sama orang lain. Tapi kalau orang lainnya bangsat semua, apa yang mau digantungin? Harapan yang akhirnya emang cuma angan semata?

Ah, lagian gue udah biasa sendiri. Jadi nggak masalah.

Ini bukan ungkapan menyedihkan yang biasanya disuarakan para jomblo. Tapi maksud gue, ya gue emang udah biasa sendiri dalam banyak hal. Termasuk hidup yang rasanya kayak mati soalnya udah terlalu kebas.

Terbiasa sendiri juga bikin lo nggak perlu takut sama yang namanya kehilangan dan ditinggalkan. Posisi yang menurut gue nantinya menyusahkan karena harus membuat kepala berpikir keras tentang skenario yang menyebabkan hal tersebut terjadi, juga dengan perasaan yang pastinya terluka karena kecewa dan merasa nggak pernah pantas untuk diperlakukan seperti itu.

Sama kayak yang gue rasain dulu, kapan persisnya gue lupa—nggak mau ingat, Mama pergi gitu aja sambil bawa Hanny dan ninggalin gue berdua sama Papa di rumah. Gak lama, Papa juga malah ikutan pergi dan milih buat tinggal di rumah lain dibanding satu rumah sama gue. Keren, kan, mereka semua? Berhasil banget bikin gue merasa kalau gue emang layak buat ditinggalkan.

Walaupun orang di sekitar gue banyak yang bilang kalau mereka pasti punya alasan tersendiri kenapa ninggalin gue, tetap aja, nggak ada satu pun alasan yang bisa gue terima dan terasa masuk akal untuk gue pahami.

Gini, deh, simple-nya aja, kalau emang gue berharga, nggak mungkin gue ditinggalin sendirian. Pasti mereka bakal selalu ada di sisi gue. Logikanya, perhiasan aja disimpan baik-baik saking mahalnya, masa gue nggak? Apa harga perhiasan emang nggak akan pernah sebanding dengan gue yang mahkluk hidup, bernyawa, bisa bernapas dan punya perasaan ini?

Singkatnya, gue dan kesendirian adalah satu kesatuan.

"Res, rokok dong." Gue segera melempar bungkus rokok pada Lucas yang duduk di sebelah gue. "Mana isinya anjir? Kosong begini."

"Abis. Belum beli," jawab gue santai, nggak menghiraukan dia yang mulai mencak-mencak nggak jelas. Membuat gue harus membesarkan volume ponsel yang sedang gue gunakan untuk mendengarkan lagu dengan tentram. Sohib gue yang satu ini emang nggak bisa berhenti bicara bahkan waktu dia makan. Satu-satunya cara supaya dia berhenti meracau ya cuma tidur.

"Eh, nyet, rokok dong." Lucas kembali bersuara. Gue tahu, kali ini dia pasti bicara pada Dery yang baru muncul karena biasanya emang baru beres kelas jam segini. Jangan kira Dery lebih normal dibanding Lucas. Mereka berdua sama aja, bedanya Dery lebih kalem tapi tingkah lakunya lebih absurd dibanding Lucas. Udah, mereka kalau digabungin langsung jadi kombo yang nggak ada lawannya. Gue sendiri heran kenapa gue masih betah aja berteman sama mereka berdua.

"Ya elah, Cas. Modal dikit napa, tampang doang ganteng."

"Mager ke bawah, Der."

Biasanya mereka lebih milih buat nongkrong di kantin Fisib yang katanya banyak cewek-cewek cakep dan modis ketimbang ngintilin gue buat melamun di rooftop. Jadi kalau hari ini mereka berdua kelihatan ada di sini, alasannya cuma satu, bokek, alias nggak punya duit. Ya gimana nggak punya duit, minggu ini aja mereka udah empat kali dugem. Mampus aja bolong tuh dompet.

"Bilang aja lo gak punya duit," tembak gue yang dibalas dengan cengiran lebar oleh Lucas. Lagian bisa-bisanya lebih rajin dugem dibanding solat. Gaya banget gue ngomongin ibadah, padahal gue sendiri solatnya seminggu sekali pas Jumatan doang. Dosa banget gue, pantas hidupnya gak bahagia.

"Gak enak gue," ucapannya terjeda karena sedang menyalakan korek gas untuk membakar rokoknya, "kemaren di ajak Bang Naka sama Bang Jo, lo tau sendiri mereka kalau gak diiyain gue diteror mulu."

Gue nggak memedulikan ucapannya lagi dan membiarkan mereka berdua sibuk dengan kegiatannya sendiri yang nggak jauh dari gibahin manusia-manusia di kampus. Mulai dari mahasiswa baru, teman seangkatan, senior, dosen, bahkan sampai ibu kantin pun dapat giliran. Gue heran sama mereka, bisa-bisanya hafal sama nama-nama orang di kampus yang kalau dikumpulin pasti jadi lautan manusia, kayak nggak ada kerjaan lain yang lebih bermanfaat.

"Eh, tadi gue ketemu Juan di kantin hukum." Nama yang disebutkan Dery barusan membuat gue sedikit terusik, namun sebisa mungkin gue tetap menunjukkan ekspresi nggak peduli. Sayangnya percuma, karena kini Lucas udah melihat gue dengan wajah siap meledek. Berengsek.

"Apa?" tanya gue ketus.

Lucas tertawa terbahak. "Apa sih? Kok sewot? Orang gue diem."

Gue mengabaikannya dan beralih pada Dery yang juga sedang mentertawakan gue. Emang dasar manusia-manusia sialan. "Ngapain dia di sana?"

"Ya bersosialisasi layaknya manusia normal lah anjir. Emangnya lo."

"Sialan."

Dery dan Lucas kembali tertawa, membuat gue bertambah jengkel karenanya. Bisa nggak sih tuker tambah sohib? Gue udah gedek banget sama mereka.

"Kenapa sih lo masih sensi aja sama Juan? Gara-gara dia mantan Nora? Ya elah, Res, kayak anak SMA aja."

Gue diam, nggak berniat menanggapi ucapan Lucas dan mulai sibuk mengecek aplikasi pesan lalu membuka salah satu room chat yang pesannya selalu gue tunggu selama hampir satu tahun terakhir.

Gak ada jawaban.

Gak peduli sebanyak apa pun pesan yang gue kirimkan, gak pernah mendapat balasan balik padahal gue tahu kalau pesan tersebut diterima olehnya.

Dalam hati gue mulai mengutuk diri sendiri karena merasa frustasi dengan keadaan ini. Mempertanyakan segala hal yang berujung dengan berbagai macam kekhawatiran.

"Masih belum ada balesan?" tanya Dery yang sepertinya udah paham dengan gerak-gerik gue.

Gue menggeleng.

"Sama kok, gue juga gak dibales. Ya, tunggu aja, Res, nanti juga dia muncul kok."

"Yoi," sahut Lucas. "Nih rokok dulu, abisin aja biar gak pusing," dia menyodorkan bungkus rokok milik Dery pada gue.

Jelas aja Dery langsung ngamuk. "Rokok gue, monyet."

Gue membakar sebatang rokok dan kemudian menghirupnya dalam. Mulai tenggalam dalam pikiran gue sendiri yang rasanya kalut setiap kali memikirkan dia.

Sialan, gue benci dengan semua ini.

Gue benci jadi orang yang selalu menerka-nerka karena nggak tahu apa pun.

Gue juga benci ditinggalkan.

Dansemakin hari gue semakin benci dengan kesendirian. Walau pada kenyataannya gue danhal itu udah cocok satu sama lain.







***



Selamat malam minggu!
Hope you guys enjoy the story, love you <3

UndoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang