34. Menjemput Sukma

68 15 1
                                    

Seperti yang sudah diperintahkan Kiai Zul, agenda kegiatan Ammar sore ini adalah menjemput seseorang di bandara. Karena tak mau dikira jomblo atau lebih tepatnya tak mau pergi sendiri, ia menunggu sang bidadari di depan ruang Caca mengajar. Tentunya di wilayah santri putri.

"Siang Gus Ammar," sapa salah satu santri putri yang katanya sangat ngefans pada Ammar.

Lelaki dingin itu hanya menanggapinya dengan sedikit senyuman. Walau katanya idola di pondok, tapi sebenarnya Ammar tak mau diperlakukan seperti itu. Yang ia takutkan yakni jika para santri itu membayangkannya saat sebelum tidur. Bukankah itu termasuk zina pikiran dan hati? Dan pasti kebanyakan dari mereka menganggap Ammar sebagai pria, bukan sebagai guru mereka. Ia lebih tak suka lagi. Seakan santri-santri itu melupakan satu hal.

"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah berbuatan yang keji dan jalan yang buruk."

Dalam surah Al-Araaf ayat 32 ini sudah sangat jelas jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala sangatlah membenci orang-orang yang mendekati zina. Apalagi terhadap mereka yang sudah melakukan zina.

"Sayang. Kok kamu di sini?" tanya Caca tiba-tiba hingga membuat Ammar terkejut. Jadwal mengajarnya hari ini kebetulan sedikit, jadi sudah selesai.

"Emm... Syafa... Antar aku ke... suatu tempat dong."

Caca mengerutkan dahi dan menampilkan raut wajah seolah bertanya kemana. Jarang sekali Ammar mengajaknya dengan dijemput seperti ini. Biasanya lelaki itu akan menelepon atau mengabari Caca melalui chat.

Seolah mengerti maksud Caca, Ammar langsung menarik tangan sang istri dan menggiringnya. Keduanya tahu jika tengah ditatap heran oleh banyak orang, namun mereka dengan santainya bergandengan tangan di wilayah yang memang dilarang. Ternyata pasutri yang satu ini tak ingat jika para santri belum mengetahui status baru mereka.

"Astagfirullahaladzim, Ustaz Ammar... Ustazah Khalisa. Kalian kenapa pegangan tangan ya?" tanya seseorang berjilbab hijau. Ia merupakan salah satu santri putri tercerewet di pondok pesantren Al-Firdaus.

Ammar melirik tangan kanannya. Tak lama, ia lepaskan kasar. Ia juga salah tingkah tak karuan. Pasti gadis muda itu salah paham. Bagaimana ini?

"Bu-bukan urusan kamu," Caca tersenyum simpul menanggapi. "Ayo Gus."

Sesampainya di mobil, keduanya langsung membuang napas lega.

"Astagfirullah Mas, kok bisa ya tadi kita---" ujar Caca ingin membahas perihal tadi, namun ucapannya terpotong oleh Ammar.

"Nggak apa-apa Syafa, tenang aja. Lagian kita nggak salah. Kita kan udah SAH," imbuhnya dengan sedikit penekanan di kata sah. Terlihat sekali jika Caca sangat cemas. Ammar jadi tak tega melihatnya.

Perlahan Ammar menjalankan kendara pribadinya. Sementara ini, tak ada satu patah kata pun yang terucap di antara keduanya. Suasana di mobil terasa sangat hening, namun juga menegangkan. Deruan jantung berdetak seolah dapat terdengar jelas di telinga sang empu. Untung saja diantara keduanya tak ada yang memiliki riwayat sakit jantung.

Ammar berdehem untuk mencairkan suasana. "Fans kita banyak juga ya."

Mendengar lima kata yang baru saja terucap, Caca melirik tajam lelaki di sampingnya. Ia kemudian menarik napas kasar. "Bukan kita, tapi kamu."

"Ah masa?"

"Iya. Tadi kan yang liatin kita itu santri putri. Dari sana aja udah jelas kalau mereka itu suka sama kamu."

Entah kenapa nada bicara Caca kali ini terdengar sangar. Padahal beberapa menit lalu, ia menjadi orang yang paling khawatir. Sedangkan Ammar, sembari mendengarkan sang istri mengomel, ia membawa mobilnya ke tepi. Jika ia tetap melajukan, bisa gawat karena kali ini dirinya sedang tak fokus menyetir.

Pangeran Impian✓Where stories live. Discover now