2

478 97 152
                                    

Waktu berlalu begitu cepat, membawamu semakin jauh dari indahnya masa kecil, semakin mendekatkan mu dengan kejadian yang dinamakan kematian. Bagi Riku, waktu adalah sahabat terbaik, yang bisa ia percaya, yang tidak pernah mengkhianatinya layaknya usaha dan perjuangan.

Jalan  apa pun yang ia tempuh, semuanya sama. Manusia bekerja untuk mencukupi kebutuhannya, memenuhi nafsu dan ambisinya. Jika semua itu sudah terpenuhi maka apalagi? Mempertahankannya? Ya, itulah yang setiap orang lakukan, cara apa pun akan dilaksanakan, bahkan cara kotor sekalipun. Tapi Riku, ia bekerja untuk menunggu temannya sang waktu membawanya pergi. Mimpinya sudah tercapai, walau hanya bertahan dalam waktu yang begitu singkat.

Seperti hari-hari lainnya yang telah berlalu, kegiatan yang ia lakukan tak jauh berbeda. Duduk santai dengan secangkir teh dan beberapa potong kue, serta buku baru cukup membuatnya nyaman menunggui toko miliknya.

Mau panas ataupun dingin tidak ada yang berbeda, baginya semua sama saja. Dia sudah tak bisa merasakan hawa disekitarnya, beberapa indra yang ada ditubuhnya sudah tidak berfungsi dengan baik. Bahkan Riku sudah lupa, seperti apa rasa manis itu.

“Nanase-san!”

“Ah Anda kembali, lama tidak bertemu tuan.”

“Bisakah kita bicara seperti masa lalu?”

“Masa lalu seperti apa yang Anda inginkan?”

“Lupakan!”

“Tentu, dengan senang hati,” lagi, pria bersurai raven itu mendatanginya, hampir setiap hari. Berbeda dengan para rekannya yang menjenguk Riku satu kali dalam seminggu. Izumi Iori datang dengan wajah ceria, cerah berseri.

Pemuda yang lulus SMA 2 tahun yang lalu itu selalu menyeretnya ke dalam pembicaraan seputar dunia musik akhir-akhir ini, namun setelah melihat lawan bicara tak tertarik dengan topik yang dibahas ia pun pergi dengan wajah masam. Menyambut dan mengantar Iori pulang sudah masuk ke dalam rutinitas Riku.

“Apa kau yakin tidak mau kembali?”

“Kembali ke mana?”

Pertanyaan mereka selalu sama, itu memudahkan Riku dalam menjawab, ia tak perlu bersusah payah memikirkan jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan.

“Tentu saja bersama kami! IDOLiSH7!”

“Ahahaha... Sungguh, berbicara dengan Anda sangat menghibur saya. Jadi segeralah pulang!”

Riku memberikan raut teduhnya, menghirup aroma teh yang entah masih hangat atau sudah dingin terkena terpaan angin sore.

“Nanase-san, ini tidak lucu, kau terus mempermainkan kami! Tidakkah kau lihat, grup kita sudah berada diambang kehancuran?!”

“Kita?”

Riku masih setia menatap taman bunga di depannya, tanpa menoleh pun ia sudah tahu kalau sekarang ekspresi lawan bicaranya mulai tak bisa dikendalikan. Senyumnya masih bertengger, menyesap teh di dalam cangkir sampai tidak tersisa, lalu menaruh cangkir di nampan dengan kuat, menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu. Dengan mata tertutup dan senyum lebar ia membalikkan badan.

“Anda tau? Saya masih sangat ingat, bahwa alasan saya keluar adalah karena paksaan Anda beserta rekan-rekan Anda. Tapi saya masih berbaik hati agar membuat semua itu seolah-olah adalah keinginan dari diri saya sendiri.”

“Kami tidak pernah memaksamu! Kau yang pergi meninggalkan dorm begitu saja!”

“Oh ya?”

Riku tersenyum mengejek, pemilik kedai itu dengan santai menuangkan teh dari dalam teko ke cangkirnya yang telah kosong lalu menyiramkannya ke wajah tampan si raven.

GoWhere stories live. Discover now