5

468 87 226
                                    

Suara tepuk tangan yang begitu meriah mengisi malam yang ditemani ribuan bintang. Satu persatu melodi dimainkan, lirik-lirik indah mulai dilantunkan dengan nada membuat setiap pendengarnya merasakan kebahagiaan.

Tujuh orang menari dengan lincah diatas panggung, melambaikan tangan, mengajak para penggemar menggerakkan badan bersama. Tujuh orang dengan surai berbeda, layaknya pelangi yang bersinar menerangi gelapnya malam. Merah, jingga, kuning, hijau, dua warna biru dan ungu, semuanya menjadi satu.

Kostum yang dipakai sangat mencerminkan pribadi masing-masing pemuda diatas sana.
Tiba-tiba lampu menyorot ke tengah, pada seorang pemuda berambut merah yang merupakan pusat dari gerombolan orang di atas sana. Bernyanyi menyanyikan bagiannya dengan suara lantang, mengangkat tangan ke atas lalu kembali bergabung dengan rekannya dalam formasi yang begitu memukau.

Riuh teriakan dan tepuk tangan makin menjadi, penonton sangat puas dengan apa yang mereka saksikan malam itu.  Tapi tidak satupun dari mereka tahu, bagaimana para idol itu bertingkah di belakang panggung.
Suara batuk mulai terdengar, suasana sunyi ruang ganti yang mereka tempati seketika hilang.

Namun anehnya, kali ini tak ada satu orang pun yang bergerak dari tempat mereka duduk maupun berdiri. Semuanya hanya menonton, bagaimana pemuda bersurai merah senja itu memeganginya dada bahkan sesekali lehernya yang sakit. Paru-paru miliknya berteriak meminta oksigen lebih.

“Yama-san dia kambuh lagi tuh,” semua orang tidak peduli, mungkin beberapa menit lagi si merah akan jatuh dalam kondisi kritis, tapi Tuhan masih ingin dia hidup.

Managernya, Takanashi Tsumugi, gadis muda berambut senada dengan ayahnya yang merupakan kepala agensi itu merangkulnya, memberikan inhaler bahkan membopongnya keluar menuju mobil, hendak mengantar si kepala merah ke rumah sakit.

“Inilah akibat dari sifat keras kepalamu itu.”

Seorang pemuda dengan wajah yang mirip dengannya berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam yang khas. Manik delima mengikuti kemana arah anak semata wayang Takanashi Otoharu bergerak membawa pemuda yang berbobot lebih berat darinya. Menyilangkan tangan lalu tertawa pelan, melambai beberapa kali dan pergi, menghilang begitu saja. Begitulah, bagaimana sisa malam sepasang muda-mudi terlewat hanya dengan tidur berteman kan infus di rumah sakit.

•°•

“Riku pergilah, ini bukan lagi tempatmu,” satu kalimat yang begitu menyakitkan menyambut kepulangannya. Manik merah bergetar, menatap setiap orang diruangan itu dengan mata yang berkaca-kaca.

“Tisak ada lagi tempat untukmu disini Nanase-san.”

Sakit, dadanya kembali sesak, tidak pernah sekalipun terpikir dibenaknya, kalau si raven bisa melontarkan kalimat sekejam itu padanya.

“Berhentilah Riku, jangan siksa dirimu.”

“Bahkan Mitsuki juga? Kenapa?”

“Mundur, itu yang terbaik untukmu.”

“Momo-san?”

“Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan Rikkun, pulanglah,” sejak kapan si bongsor itu memiliki mulut Iori pada dirinya? Bahkan ia mengatakannya dengan raut biasa saja, bodo amat dengan kondisi lawannya.

“Riku, dengarkan apa kata mereka. Pulanglah dan tunggu kami disana!”

“Kemana? Kemana aku harus pulang?” gumamnya. Tak tahan mendengar percakapan yang sedang berlangsung, Tsumugi dengan lembut memohon kepada si mahkota merah untuk berdiri lalu menuntunnya perlahan keluar dari ruang tengah.

Hari-hari berat dimulai dari malam itu, setiap pergerakan Nanase Riku selalu dianggap sebagai sebuah kesalahan, setiap kalimatnya diklaim sebagai kebohongan. Sampai pada suatu malam, di salah satu konser, si merah dibuat menyerah dengan terpaksa.

GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang