1

768 92 6
                                    

Eksistensi Taehyun di depan tubuhnya menguatkan kegamangan Beomgyu.

Hitam jelaga menusuk atma, Beomgyu akui kelemahanya memang itu. Ditatap sebegitu tajam, siapa yang mampu tenang?

"Kamu gentar, hanya karena ini, Choi?"
Nadanya penuh sarkas, jemari telunjuknya mengarah pada kedua iris miliknya sendiri.

Nihil jawaban, Beomgyu masih mengunci lisan rapat.

"Agaknya kamu sadar diri kalau suaramu itu memuakkan, sehingga lebih pilih membisu, benar?"

Taehyun mulai melangkah menjauh, jadi kesempatan Beomgyu bernafas lega.

Merosot lemah, daksanya sama halnya daging tak bertulang. Tak memadai buat berpijak.

"Memaklumi atas deklarasi kebencianmu untukku. Sebab mataharimu telah direbut paksa oleh Ibuku. Taehyun, sepertinya ketidak-normalan perasaanku bawakan segerombolan harapan, bermimpi suatu saat kita jalin ikatan atau setidaknya membaik. Apa bisa?"

Beomgyu sepenuhnya sadar, ketika coba paksakan diri memerankan sudut pandang Taehyun. Lumrahi segenap perlakuan lelaki Kang terhadap diri bahkan keluarganya yang tersisa-adiknya.

◇◇◇

Biru melukis langit, begitu cocok menjadi teman mengasah vokal.
Hueningkai berjalan cepat menuju ruangan studio sekolah yang berada di samping laboratorium bahasa.

"Kupikir, kamu betulan larang kami mengikuti kontes. Pada faktanya, kamu lebih dulu sampai disini. Bukti bahwa kamu diam-diam bergairah untuk takluki panggung." Protes Hueningkai, tidak terima ada yang mendahuluinya sampai di studio lebih awal.

"Oh, tidak. Jelmaan bule marah. Maafkan aku menduduki posisi drummer tanpa seizin anggota, tapi, yah.. Secuil menyenangkan apabila jadi sorotan penonton. Jadi, lupakan laranganku minggu lalu."

Tersenyum puas, Hueningkai memeluk Junho erat. Puas sekali rasanya, berhasil hasut Junho masuk sekaligus mengijinkan band miliknya berpartisipasi pada lomba Februari mendatang.

"Sekarang, giliranku memberi syarat untukmu, Hyuka."

"Apa?"

"Apapun keadaanmu, sebisa mungkin hindarilah dendam."

"Agak melenceng dari dunia permusikkan, tapi, baiklah. Lagipun, kepada siapa dendamku patut dimuarakan?"

Junho melepas tangan Hueningkai yang masih bertengger pada pinggangnya, menjelaskan kepada bayi tentang kekejaman semesta memang sulit.

"Tidak sekarang, kamu mungkin akan memahaminya nanti."

Junho menyudahi percakapan, seluruh anggota band telah berkumpul.

"Berlatihlah, aku mau kencan sebentar dengan bekal dari Ibuku tersayang."

"Oke," mendengus lirih, Hueningkai membiarkan teman karibnya itu melenggangkan kakinya pergi.

◇◇◇

"Tidak mau menjawab?"

Pipinya senantiasa di tekan kuat, persetan dengan banyaknya manusia yang menganggap dirinya menggemaskan saat bibirnya mengurucut seperti ini, itu sangat sakit, sialan.

Taehyun tidak setengah-setengah bila menyangkut hukuman, apalagi kepada Beomgyu.

"Bwisa lepwash dulu tanganmwu?"
Pinta Beomgyu penuh tekanan, bagaimana bisa dia menjelaskan jika Taehyun terus menyiksa?

Cengkraman di pipi terlepas, sabuk yang digunakan untuk lukis luka dipunggung Beomgyu sudah kembali melingkar sempurna di pinggang Taehyun.

"Biarkan, sekali ini saja. Hueningkai ingin mengeksplorasi dunia dari luar SMA. Aku berjanji, ini untuk yang terakhir kali," bujuk Beomgyu sembari menggunakan kembali kaos hitamnya.

Menahan perih disaat serat kain menggores pelan luka bekas cambukkan. Bahkan ini lebih menyiksa ketimbang sesi penyiksaan itu sendiri.

"Pulanglah, jangan lupa kerjakan tugasku besok."

"Menyedihkan, aku bahkan beda prodi dengan Taehyun. Mana kuasa aku mengerjakan tugas miliknya?"

"Ya, tentu."
Beomgyu berjalan tertatih, meninggalkan Taehyun yang duduk mematung didalam gedung kampus tak terpakai.

"Dosa ibumu, dosa milikmu juga, Choi."

Kang Taehyun begitu naif, enggan mengakui bahwa perbuatannya diluar batas.

To be continued..

AbnormalWhere stories live. Discover now