09 - Kasih Fell First

4.3K 420 115
                                    

[Sebelumnya] .... "Papanya Rere?"

Aiden terkekeh. "Iya, betul. Ini Mbak Kasih yang di toko boneka waktu itu, kan?"

"Iya, Pak." Kasih menjawab, lalu melanjutkan dengan cerah, "Saya udah tahu lama importir parfum langganan ayah saya namanya Pak Aiden, tapi gak pernah nyangka kalau Pak Aiden-nya sama dengan Pak Aiden papanya Rere."

Aiden tersenyum kecil. "Kalau begitu, maaf sudah mengagetkan. Jakarta sempit."

Kasih tersenyum, agak berminat menyaksikan gestur dan intonasi pria ini. Duduk santai, bicara santai, senyum-senyum elegan pun terulas tanpa beban. Juga, aroma enak yang keluar dari tubuh dan pakaiannya.

"Bukannya dunia yang sempit? Masa cuma Jakarta?" Kasih membalas.

Sebelah alis Aiden terangkat. Mau juga ternyata perempuan ini menangkap dan melempar ujarannya.

"Ya... kalau sedang bicara secara majazi, memang seharusnya 'dunia'. Tapi saya sedang bicara kenyataan, dan kenyataannya dunia itu luas. Kalau dunia ini sempit, mungkin saya sudah selesai menjelajahi Palung Mariana," kata Aiden.

Kasih tersenyum sedikit lebih lebar, makin tertarik dengan percakapan yang Aiden buat. Itu basa-basi yang tidak murahan menurutnya.

"Benar juga sih, Pak. Tapi kalau boleh pilih, saya lebih penasaran sama Segitiga Bermuda." Kasih membalas santai.

"Oh, ya? Bagaimana kalau yang lebih sederhana? Santorini di Yunani misalnya. Sudah pernah ke sana?" Aiden menambahkan lagi.

Sejenak, mereka bersilih pandang. Kasih pun jadi yang pertama tertawa, perempuan itu menutup mulut dengan tangan.

"Tidak usah dilanjutkan, tidak akan selesai meski sampai senja," Aiden tersenyum saja, "tidak akan ada habisnya menyebutkan tempat-tempat yang sulit dijamah manusia, di dunia yang katanya sempit ini," lanjutnya tenang. Namun, tatapan memesona terus menghujam.

Apa Aiden memang selalu seperti ini setiap berucap? Juga... tatapannya itu, apa caranya menatap seseorang selalu demikian? Terkesan menggoda, tapi sebetulnya tidak. Kasih jadi bertanya-tanya.

Kalau boleh jujur, Kasih kian berminat mengobrol dengan sang pria. Rasanya ingin memperpanjang percakapan. Aiden agak unik menurutnya. Namun, Kasih tersadar kemudian. Pikirannya harus terjaga, tak boleh berlebihan sebab Aiden sudah menikah.

"Iya, Pak." Kasih tersenyum netral. "Oh ya, omong-omong... terima kasih."

"Untuk?" Aiden menyambung.

"Tadi Pak Aiden bilang nama saya estetik."

"Oh, iya, but no need to mention it." Aiden tersenyum.

"Waktu masih kecil, saya agak malu justru sama nama saya itu, Pak. Tapi karena pemberian orangtua... ya udah, diterima aja," ujar Kasih. Ingin berbagi lagi sedikit.

Aiden kembali tersenyum tipis dengan tatapan sedikit sayu. Mengatur-atur letak pulpennya di atas meja kayu. "Kenapa harus malu? It's beautiful, really."

Ah, raut itu lagi, intonasi itu lagi. Kasih kembali tertarik.

Begini, Aiden itu murah senyuman-senyuman, tapi kedua mata jarang ikut tersenyum juga melainkan sedikit sayu. Ia jadi terlihat seperti sedang merayu meski sebenarnya tidak.

Sebut saja aiden's smile.

Spertinya, Kasih harus terbiasa dengan aiden's smile, sebab memang begitu cara pria itu tersenyum dan menatap, bukan karena sedang menggoda.

He's naturally tempting, he was born like that.

"Kasih artinya perasaan sayang, Asmaraloka artinya dunia dimana perasaan kasih itu tumbuh dan bersemayam. Beautiful combination." Aiden kembali berujar.

DADDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang