Fünfzehn ;

3.5K 622 68
                                    

Jangan munafik, manusia pasti butuh duit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan munafik, manusia pasti butuh duit. Sekalipun hukum bisa dibeli pake duit, tapi gue tau. Nggak ada yang bisa beli kebahagiaan barang sedetikpun.
—West.

🌫🌫🌫

"Gimana punggungnya masih nyeri?" Esha membuka percakapan pagi setelah Hasnanta bangun. Ia tadi tidur lagi usai menunaikan sholat subuh karena semalaman begadang memikirkan banyak hal.

Hasnanta menggeleng, "Lo cium gih kasih usapan selamat pagi biar cepet kering lukanya." godanya tanpa beban. Tentu saja berhasil membuat kembarannya darah tinggi.

"Chaki jelmaan joker begini bentukannya." balas Esha ingin menampar nya. Namun ia masih berperikemanusiaan.

Hasnanta terkekeh kecil, lalu hendak membuka kaosnya. Tetapi pergerakannya terhenti saat gadis itu berteriak sambil menutupi wajah.

"Lo ngapain buka begitu nggak ada aba-aba dongo!? Bilang kek biar gue bisa keluar dulu." Gadis itu mengomel. Hasnanta mengibaskan tangannya tanda tak peduli dan melanjutkan kegiatannya.

"Sok-sokan nggak mau ngeliat, dulu ge mandi bareng tiap sore."

Esha menghela napas, "Ya Allah punya sodara gini amat."

Mau tak mau Esha membantu Hasnanta melepaskan kaosnya. Sedikit ngilu melihat bekas luka lebam yang kini membengkak dan sedikit menghitam di punggung pemuda itu.

Mendesah pelan, gadis itu mengambil salep dari kotak obat yang sudah ia bawa. Emak hari ini mengantar Raka serta rapat sekolah. Arsa sedang ekskul, dan tersisa mereka bertiga di rumah ini.

"Lo nggak marah sama Bapak?" tanya Esha penasaran sambil mengoleskan obat itu ke punggung kembarannya. Ia sendiri yang mendesis nyeri saat gelatin itu menyentuh luka Hasnanta.

Hasnanta menggeleng, "Mau marah juga beliau Bapak gue. Emangnya elo? Anak pungut." balas pemuda itu tanpa dosa lalu meringis saat adiknya menggeplak daerah sekitar luka pelan.  "Ya Allah, lo mau bunuh gue?"

"Ya lagian si Supri, gue nanya serius juga." ketus Esha dan kembali melaksanakan kegiatannya.

Hening. Tak ada yang berniat membuka percakapan.

"Gue lagi mikir kenapa Bapak sampe mukul gue semalem."

"Emang lo bisa mikir? Tumben ada otak." dengkus Esha masih sedikit sebal. Namun justru Hasnanta tertawa, gemas sekali dengan wajah kembarannya yang terpantul cermin lemari kamar.

"Bapak nggak mungkin mukul tanpa ada alasan, Annabelle. Gue juga tau, yang gue lakuin salah. Bergaul sama anak jalanan itu nggak baik."

Empat Arah Mata AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang