track 16 | Had my faith in...

667 164 21
                                    

--- track 16

---

---

Dua hari berlalu.

Dan selama dua hari itu pula Minho hanya melihat kakaknya dan beberapa perawat serta dokter yang keluar masuk kamar rawat inapnya.

Lalu ayahnya?

Mungkin juga akan selalu ada di sini untuk menemaninya jika saja sekarang tidak sedang ditahan dan mendekam di balik jeruji besi. Lagi-lagi sebuah kenyataan pahit.

Minho tahu ia harus selalu siap dengan segala kenyataan dalam hidupnya. Tapi ia bahkan tak pernah menyangka jika selama ini kedua orang tuanya hidup dengan menyembunyikan begitu banyak dosa darinya.

Hati anak mana yang tidak terluka?

Minho masih ingat betul, bagaimana saat itu ia terus dipeluk oleh sang kakak sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ia tidak pingsan, apalagi merintih kesakitan. Matanya terus terbuka dan nafasnya terus berhembus. Seakan Tuhan benar-benar tak ingin jika ia melewatkan sedikit saja rasa sakitnya.

Kini, di ruangan rawat inapnya, Minho hanya duduk terdiam di ranjangnya. Tangannya nampak menggenggam lemah ponselnya dan netranya menatap kosong ke arah jendela. Walau dokter dan perawat yang menanganinya mencoba mengajurkannya untuk berbaring saja dan tidur, Minho tetap kukuh memilih duduk dan terus memandangi pemandangan dari arah jendela.

Bukan pemandangan indah, sebenarnya. Hanya sebuah danau kecil yang nampak tak terjamah dan di tepinya berdiri sebuah pohon tua yang kering. Dan setiap kali Minho melihat pohon itu, ia merasa seperti melihat dirinya sendiri.

Nyaris mati.

Kehilangan harapan.

Dan bisa tumbang kapan saja.

Teringat akan keberadaan benda pipih dalam genggamannya, Minho kini beralih memandang nanar layar ponselnya yang menampilkan history panggilan keluar sebanyak 51 kali kepada kontak atas nama Om Chan. Dari 51 kali percobaan itu —terhitung sejak kemarin— Minho ingat hanya 2 panggilan yang berhasil tersambung, namun tak ada jawaban. Dan sisanya, ia hanya disambut suara dari rekaman operator yang mengatakan bahwa nomor yang ia tuju tak lagi terdaftar.

Apa kita benar-benar sudah berakhir?

Dengan cara seperti ini?

Setiap kali ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya, Minho akan menoleh cepat dan berharap itu adalah Chan yang datang untuk menjenguknya. Dan itu selalu terjadi seakan menjadi kebiasaan baru selama ia di rawat, kendati ia sadar jika hal itu nyaris mustahil terjadi.

Pun seperti saat ini, ia sontak menoleh ke sumber suara ketika rungunya menangkap suara pintu yang terbuka. Walau lagi-lagi harus menelan kecewa karena yang ia temukan adalah kakaknya, Juyeon.

"Ho?- Ya ampun.. lo masih aja nungguin dia?" ujar Juyeon dengan intonasi setengah frustasi.

Sekilas pemuda 25 tahun itu nampak mendesah lelah. Setelah menutup pintu ia berjalan menuju nakas di samping ranjang lalu meletakkan kantong plastik berisi buah-buahan yang dibawanya di sana.

"Maaf gue perginya agak lama, tadi pengacaranya ayah mendadak minta ketemu, jadi abis beli buah gue langsung ke kantor polisi."

Minho nampak hanya mengangguk singkat sebagai respon, tanda bahwa ia tak masalah. Juyeon kemudian berjalan menuju sisi lain ranjang dan mendudukkan dirinya di hadapan sang adik setelah sebelumnya menarik sebuah kursi kecil dari sudut ruangan.

"Masih sakit gak?" tanyanya, tangannya terangkat untuk menyisir singkat rambut Minho yang nampak berantakan, kemudian ia mendapatkan sebuah gelengan lemah sebagai jawaban.

P.O.U (playlist of us) | Banginho✔Where stories live. Discover now