🍁21.

3.3K 202 2
                                    

Sepanjang malam ini Mak Jah menemaniku melepaskan segala keluh kesahmu, Mak Jah dengan sabar mengelus punggungku dan menjadi sandaranku ketika aku tidak sanggup menceritakan suatu hal.

Malam ini aku ingin melepaskan segalanya, melepaskan segala beban yang ada dipundakku. Satu persatu kepingan cerita ku katakan, air mataku ikut mengalir disetiap ceritaku.

Mak Jah tidak banyak berkata, namun aku tau kalau ia begitu mengkhawatirkan ku.

"Nai capek Mak, enam tahun Nai perbaiki hati Nai, setelah semua mulai kembali normal ia malah kembali namun sekarang semua menyalahkan Nai, apa segitu buruknya Nai?" ucapku tergugu, Mak Jah terus mengusap punggungku untuk menenangkan ku.

"Sabarlah Nai, ini hanya ujian, Nai harus berhasil melewatinya, kalau Nai berhasil sebuah hadiah besar sudah dijanjikan Allah untuk Nai," ucap Mak Jah menenangkanku.

"Nai gak salah, manusia memang seperti itu Nai, mereka lebih suka mengatakan keburukan orang lain dibanding kebaikan orang itu."

Aku makin terisak mengingat semua yang terjadi. Cacian yang dilontarkan semua rekan kerjaku serta Ibu Hanum yang begitu membenciku. Tuhan, sanggupkah hamba-Mu ini menjalaninya?

"Sudah malam, Nai tidurlah, esok Nai kerja bukan." aku mengangguk dan mengikuti Mak Jah yang menuntunku untuk menuju kamar.

"Mak, bolehkah malam ini Mak menemani Nai tidur!" pintaku, Mak Jah awalnya ragu namun akhirnya ia mengangguk. Kupeluk tubuh Mak Jah erat dan mencari kehangatan seorang ibu dari pelukannya.

🎬

Pagi sekali aku sudah siap dengan pakaian kerjaku, aku sudah hendak kedapur ketika mendapati sepiring nasi goreng sudah terletak dimeja makan. Sepertinya Mak Jah yang menyiapkan. Benar saja, tak lama Mak Jah keluar dari dapur dengan segelas susu hangat.

"Makanlah Nai," ucap Mak Jah sembari meletakkan segelas susu dihadapanku.

"Nai buru-buru gak?" tanya Mak Jah ragu, sepertinya ada hal yang akan disampaikan Mak Jah, dan sepertinya serius.

"Gak Mak, kenapa?" tanyaku.

"Sebelumnya Mak mau minta maaf, Mak tau Nai dalam keadaan yang kurang baik, tapi Mak harus mengatakannya." Mak Jah menjeda kalimatnya dan menarik nafas sejenak.

"Sebulan yang lalu, anak sulung Mak nelfon dari kampung, Alhamdulillah ia sudah mendapat pekerjaan, jadi ia meminta Mak untuk kembali kekampung dan tidak bekerja lagi, tapi Mak belun sempat kasih tau Nai, kemaren ia kembali nelfon dan meminta Mak agar segera pulang," jelas Mak Jah. "Maaf ya Nai."

"Tidak apa Mak, kalau Nai jadi anak Mak pun pasti Nai akan melakukan hal yang sama, Nai pikir pun rasanya Mak sudah tidak pantas bekerja seperti ini, Mak pantasnya menikmati hari tua dengan anak cucu Mak," ucapku. "Jadi kapan rencananya Mak balik ke padang?"

"Kalau Nai sudah mengizinkan, Mak akan pulang lusa."

"Baiklah, Mak hati-hati ya, titip salam buat anak-anak Mak, maaf Nai gak bisa antar Mak," ucapku.

"Tidak apa-apa."

🎬

"Assalamualaikum Umi," salamku dan mengecup punggung tangan Umi. Rumah tampak sepi mungkin Abi belum pulang dari dinasnya.

"Wa'alaikumussalam anak Umi." Umi memeluk tubuhku sejenak melepas rindunya. "Anak Umi kok kurusan ya?" tanya Umi.

"Masa? Biasa aja Umi," jawabku. Aku tidak merasa tubuhku kurusan, tapi sepertinya memang begitu. Karena akhir-akhir ini, semua bajuku mulai terasa kebesaran.

"Anak Umi banyak pikiran ya? Ada masalah dengan rumah tanggamu?" ternyata sampai juga batinku pada Umi, memang sejak dulu Umi dan aku memiliki ikatan batin yang kuat.

"Biasa masalah kecil-kecil Umi," jawabku berbohong, aku tak ingin Umi mengkhawatirkan ku.

"Jangan membohongi Umi Nai, Umi yakin ada masalah besar setelah apa yang terjadi." aku lupa kalau Umi mengetahui kalau berita pernikahanku telah menyebar kemana-mana. Bahkan beberapa hari terakhir Abi selalu mendapat telfo dari kerabatnya menanyakan kebenarannya.

"Umi tenang aja, Nai bisa kok ngatasinnya," ucapku menenangkan Umi. Umi mengembuskan nafas panjang dan mengelus kepalaku sayang.

"Sudah lama kamu kesini, kenapa?"

"Maaf Umi, Nai sedikit sibuk dengan jadwal operasi," ucapku.

"Ya sudah, ayo kita kedapur Umi tadi bikin brownis," ucap Umi dan menarik tanganku menuju dapur.

🎬

Malam ini aku memutuskan untuk menginap dirumah Umi, aku kangen dengan kedua orang tuaku. Ternyata bukan hanya aku yang rinduk, Umi dan Abi pun begitu merindukanku. Bahkan sejak tadi Abi tetap ikut bercengrama dengan kami, padahal aku tahu beliau kecapean dan mengantuk.

"Abi, tidurlah. Besok Nai masih disini," ucapku. Namun Abi menggeleng.

"Abi masih kangen anak Abi," ucap Abi.

Perasaan itu mulai kembali menghantui, perasaan marah sekaligus sedih yang membuat hatiku sesak.

Enam tahun bukanlah waktu yang singgkat untuk aku lewati, namun kenapa aku begitu bodoh menerima lamaran seorang lelaki yang dulu pernah menolakku, bahkan dengan tegas mengatakan kalau ia hanya mencintai satu wanita dan itu bukan aku.

Dulu aku ingin sekali memiliki rumah tangga seperti Abi dan Umi. Selama aku tau, aku tak pernah melihat sekali pun mereka bertengkar hebat. Kalau pun mereka bertengkar itu tak pernah didepanku, dan hanya bertahan sementara, karna dengan hati terbuka salah satu diantara mereka akan meminta maaf terlebih dahulu.

Mereka tak pernah mengungkapkan rasa sayangnya dengan kata seperti 'aku mencintainya' atau sejenisnya. Namun mereka mengungkannya melalui perbuatan, contohnya saling mendoakan disetiap sujud mereka.

Itu karna mereka saling mencintai karna Allah, bukan karna nafsu. Itulah yang selama ini aku impikan, lelaki yang mencintaiku tulus karena Allah.

Cinta karena wajah tidak akan bertahan lama, karena waktu dapat mengubah suatu kecantikan. Namun waktu tak kan pernah menghilangkan Allah dari hati hambanya yang bertaqwa.

"Nai, sayang?" panggil Umi, tangganya bahkan ikut menguncang bahuku.

"Eh iya Umi, kenapa?"

"Aduh melamun toh anak Umi, Umi tanya besok kamu tidak bekerja?" tanya Umi.

"Iya Umi, tapi besok Nai shift siang." Umi dan Abi mengangguk mendengar perkataanku.

"Umi, Abi, Nai naik dulu ya, Nai mengantuk," alasanku. Aku hanya ingin menyendiri agar Umi dan Abi tidak tau dengan keadaanku yang sebenarnya.

🎬

Suasana tegang sepasang insan yan tengah terdiam. Entah kenapa keduanya hanya terdiam, tanpa mau membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Mas, kenapa Mas tidak membelanya tadi?" tanya seorang wanita pada lelaki yang ia panggil dengan sebutan Mas itu.

"Kenapa aku harus membelanya?"

"Karna dia istrimu Mas."

"Istri sementaraku," tegas lelaki itu dengan menekankan perkataannya.

"Mas, perjanjian itu tidak ada gunanya, perjanjian itu tidak akan pernah terjadi. Mas sudah dengar sendiri bukan, kenapa Mas harus bersikeras seperti ini?" tanya wanita itu frustasi.

"Sudahlah Hanum, benar apa yang dikatakan Ibumu, wanita itu perusak rumah tangga kita. Semenjak kehadirannya kita selalu bertengkar seperti ini," teriak lelaki itu dan berlalu dari hadapan wanita bernama Hanum itu. Ia hanya akan menenangkan pikirannya malam ini diruang kerjanya.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang