🍁41.

2.7K 149 1
                                    

Setelah kepulangan Ani, kulangkahkan kakiku menuju lantai atas untuk melihat keberadaan Mas Gibran. Lelaki itu tengah bersantai disofa depan televisi, matanya menatap fokus ke acara berita yang sedang ia tonton.

"Mas," panggilku. Mas Gibran menoleh sedikit dan menepuk sofa yang ada disampingnya memintaku untuk duduk disana. Kakiku berjalan mendekat dan duduk disamping Mas Gibran.

Aku diam begitupun Mas Gibran, bedanya aku sibuk dengan fikiranku sedangkan Mas Gibran sibuk dengan tontonannya. Rasa bersalah telah membohonginya itu kembali menghampiriku.

"Mas," panggilku sekali lagi. Kali ini Mas Gibran benar-benar menoleh dan mengkecilkan volume televisi.

"Ada apa Nai?" tanya Mas Gibran lembut. Tatapan matanya membuat seluruh kata yang telah kurangkai hilang seketika.

"Maafkan Nai Mas, Nai telah berbohong sama Mas." kepalaku tertunduk dengan air mata yang sudah menggenang dipelupuk mataku. Tak lama, kurasakan tangan kekar Mas Gibran menggenggam tanganku yang berada diatas pangkuanku, rasa hangatnya menjalar hingga kehatiku.

"Kebohongan apa yang telah kamu buat?" tanya Mas Gibran lembut, ibu jarinya perlahan mengusap punggung tanganku yang ada di genggamannya.

"Tentang yang Nai katakan tadi, sebenarnya.." ucapanku terhenti, air mata menetes perlahan dari mataku. Aku sungguh merasa bersalah telah membohongi suamiku kusendiri, dan aku tidak ingin berlanjut dalam kebohongan ini.

"Sebenarnya Nai mengenal Ani di Padang," ucapku masih menggantungkan ucapanku. Usapan tangan Mas Gibran dipunggung tanganku seketika terhenti. Matanya menatap lurus tepat dikedua bola mataku.

"Padang?" tanyanya tak percaya. Aku hanya dapat menganggukkan kepalaku. Ia usap wajahnya dengan gusar, sebuah senyum getir terbit dikedua sudut bibirnya.

"Mas, maafkan Nai." lagi aku hanya bisa berucap lirih, aku merasa begitu bersalah melihat Mas Gibran seperti ini.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, semua ini bukan salahmu, Mas yang bersalah, karna Mas kamu lari sejauh itu, maafkan Mas." Mas Gibran berucap dengan nada lirih.

Entah dapat aba-aba dari mana, aku langsung menghambur memeluk tubuh Mas Gibran erat. Disana kutumpahkan segala isak tangis yang susah payah aku tahan.

Kurasakan Mas Gibran ikut memeluk tubuhku erat. Aku terkejut ketika tubuh Mas Gibran yang kupeluk bergetar, dan setetes demi setetes air matanya jatuh membasahi bahuku.

Setelah sedikit lega, kuurai pelukanku dan kuusap pipinya halus untuk menghilangkan jejak air matanya. Kuberikan sebuah senyuman tulus yang juga dibalas dengan senyuman tulus oleh Mas Gibran.

🎬

Syair Thala'al badru berkumandang indah disepanjang jalanan yang sudah dihias dengan janur kuning yang melengkung. Satu persatu tamu mulai berdatangan ditemani senyum bahagia. Bau bunga Melati menyeruak dari segala arah.

Hari ini adalah hari pernikahan Robby dengan Billa. Akad nikah akan berlangsung beberapa menit lagi, namun laki-laki dengan jas putih tulang itu masih berdiri dengan gelisah tak jauh dari pintu masjid.

Wanita yang sejak tadi ia tunggu kedatangannya masih belum menampakkan batang hidungnya. Beberapa tamu yang datang menghampirinya untuk mengucapkan kalimat selamat atas pernikahannya yang akan berlangsung sebentar lagi.

Serombongan tamu yang baru datang membuatnya menegakkan tubuhnya, namun sayang ia tak melihat kehadiran wanita itu disana. Hanya ada Uminya, Ibu mertuanya, serta Hanum dan putrinya. Tidak ada wanita itu, tidak ada Naima disana.

Bukan apa, sebelum ia ijab qabul terucap, ia ingin menuntaskan segala rasa yang ada didadanya, agar kelak istrinya tak terbebani dengan rasanya yang belum sudah.

"Robby?" suara itu bukan suara yang ia harapkan. Gadis dengan khimar bewarna peach itu berjalan mendekat menghampiri Robby yang masih tampak gelisah.

"Kenapa? Nervous ya? Udah gak papa, tenang aja, insyaallah jalan lancar kok." yang berucap itu adalah sepupunya Hanum.

"Naima mana Han, tidak datang bersamamu?" bukannya mendengarkan perkataan Hanum, Robby malah bertanya dengan wajah yang masih kentara dengan kegelisahan.

"Loh, kok cari Naima? Ada apa?" tanya Hanum bingung.

"Ada perlu, kamu tidak datang bareng dia?" tanya lelaki itu lagi, ia begitu tak sabar, waktu terus berlanjut, sedangkan ijab qabul akan berlangsung sepuluh menit lagi.

"Naima katanya datang bareng Mas Gibran, palingan sebentar lagi sampai." mendengar itu Robby terdiam. Rasa itu belum sepenuhnya hilang dari hatinya, untuk itu ia ingin menjumpai gadis itu dan menyudahi segalanya.

Tepat dimenit kelima, sebuah honda brio putih terparkir tak jauh dari pintu gerbang mesjid. Dari dalam mobil itu, turun sepasang manusia yang tampak serasi dengan pakaian yang mereka gunakan.

Tanpa menunggu aba-aba lagi, Robby segera berlari menghampiri gadis yang sejak tadi ia tunggu.

"Loh Rob, kenapa disini?" tanya lelaki yang baru saja datang itu heran melihat calon pengantin yang masih berkeluyuran.

"Boleh aku pinjam Naima sebentar saja?" tanyanya tak sabaran. Walau awalnya ragu, namun lelaki itu tetap mengizinkannya.

Robby mengajak Naima ketempat yang sedikit sepi, namun masih dalam perkarangan mesjid.

"Ada apa Rob?" tanya gadis itu heran.

"Nai, maaf jika aku masih menyimpan rasa untukmu, aku tau tak patut aku menyimpan rasa ini pada gadis yang telah menjadi seorang istri, apalagi sebentar lagi akupun menjadi seorang suami."

"Aku hanya ingin menyudahi segalanya. Aku tau kamu tak memliki perasaan yang sama denganku, namun rasanya belum lega hatiku sebelum menyampaikan segelanya padamu."

"Aku mulai menyukaimu ketika pertama kali aku melihatmu didepan mesjid kampus, dengan khimar birumu yang berterbangan, aku mencintaimu sejak saat itu. Aku tau aku bukan lelaki yang gentle, aku terlalu banyak berfikir untuk memintamu pada Abi, hingga akhirnya aku kalah cepat dengan Gibran."

"Nai, maaf telah menyimpan perasaan ini. Tolong maafkan aku karna maafmu bisa membuat rasa bersalahku hilang, agar tak gentar langkahku menempuh kehidupan yang baru dengan istriku. Tolong ridhai jalanku Nai."

Gadis yang sedari tadi diam itu akhirnya meneteskan setetes cairan bening dari kelopak matanya.

"Aku tak pernah menyalahkanmu atas perasaan itu Rob, aku tak pernah marah padamu, aku ridhai jalanmu, semoga bahagia kehidupanmu dengan Billa."

Lelaki itu tersenyum lega, rasanya beban yang ada dipundaknya terangkat dengan kata maaf yang terucap dari wanita didepannya ini.

Dengan langkah mantap ia melangkah menuju mesjid dan mengambil tempat duduk ditempat yang telah disediakan. Hatinya berdegup kencang, keringat membasahi pelipisnya.

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha li nafsi bil mahril madzkur haalan."

Kalimat sakral itu akhirnya terucap dengan mantap dalam satu tarikan nafas. Lelaki itu meneteskan setetes air matanya, begitupun dengan gadis yang saat ini tampak cantik dengan kebaya putih tulangnya.

Disisi lain, seorang wanita ikut tersenyum dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sungguh, rasa iri menghampiri raganya. Dulu ia begitu bermimpi menikah disebuah mesjid, diiringi rebana thala'al badru. Namun semua itu hanya hayalnya, tapi ia tidak menyesal, karna dengan Cinta suaminya ia sudah bisa bahagia.

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now