🍁35

4K 204 3
                                    

Sungguh aku begitu risih saat ini. Bagaimana tidak, setiap pergerakkanku tak pernah terlepas dari pandangan mas Gibran. Ia yang saat ini duduk dimeja makan dan bertopang dagu menungguku menghidangkan makan malam.

Tak hanya itu, sedari ia duduk dikursi itu senyumnya tak pernah hilang dari bibirnya membuatku bergidik ngeri, apa mungkin ini bukan Mas Gibran.

"Mas makanannya disitu, bukan disini," ucapku sambil menunjuk makanan yang terhidang diatas meja.

Mas Gibran tersadar, setelah berdehem ia mengalihkan tatapannya kearah makanan yang terhidang didepannya.

"Waw." hanya itu kata yang keluar dari mulutnya. Aku sedikit bingung tapi tak urung aku melanjutkan pekerjaanku mengambilkan makanan keatas piring Mas Gibran.

"Nai," panggil Mas Gibran disela makannya. Aku yang sibuk mengunyah makananku sendiri mendongkak dan menatap Mas Gibran sejenak.

"Hmm."

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Mas Gibran dengan nada kecil, sepertinya ia takut aku akan tersinggung.

"Entahlah, mungkin beberapa waktu kedepan Nai mau dirumah dulu aja," jawabku seadanya. Aku tidak ingin memikirkan masalah pekerjaan dulu. Aku harus kembali menata hidupku, membiasakan diri dengan kehadiran Mas Gibran dan membiasakan diri tanpa adanya Abi disisiku lagi.

Sedih, tentu rasa itu masih aku rasakan. Anak mana yang tak sedih kehilangan salah satu orang tuanya. Namun rasa itu tak pernah aku perlihatkan, biar aku yang merasakan dan Allah lah yang menjadi teman curhatku setiap aku merindukan Abi.

"Nai," suara Mas Gibran mengembalikanku dari dunia hayalku. Matanya menatapku menyelidik, sepertinya ia ingin tahu apa yang tengah aku pikirkan.

"Ada apa?" tanyanya.

"Nai hanya.. rindu Abi," jawabku lambat. Kepalaku kutundukkan agar Mas Gibran tak melihat betapa sedihnya aku kehilangan Abi.

"Nai, Mas mengerti sekali apa yang kamu rasakan, Mas juga pernah berada diposisi yang sama denganmu, sedih memang, tapi tak boleh berlanjut sayang, kita harus bangkit karna masih panjang jalan yang harus kita lewati," ucap Mas Gibran sembari menggenggam tanganku yang bebas dari sendok.

Mataku kembali berkaca mendengar kata Mas Gibran, padahal aku sudah berusaha terlihat biasa saja didepan orang-orang, namun aku belum sepenuhnya bisa menjadi manusia yang tegar.

"Mas tau gak akan mudah menerima semuanya, kita lewati ini bersama ya, Mas ada disampingmu. Perpisahan itu pasti akan terjadi Nai, mungkin hari ini Abi, besok mungkin bisa Mas atau siapapun itu, kita sebagai Makhluk hanya bisa tabah dengan takdir yang diberikan Tuhan, karna disitulah kita berasal dan kesitulah kita akan pulang."

Air mataku benar-benar meleleh mendengar penjelasan Mas Gibran. Ia mengatakan seolah-olah telah rela kehilangan satu persatu orang tersayangnya karna takdir Allah. Dan aku pun harus rela jika nanti satu-persatu orang tersayangku harus kembali ketempat asalnya, karna disisi-Nya lah tempat kita kembali.

🎬

Aku ingin sekali tertawa melihat kelakuan Zahra yang menatapku intens dengan matanya yang sipit. Ia hanya mentapku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Bahkan hingga makanan yang kami pesan datang, ia masih diam menatapku. Lama-lama aku merasa risih diperhatikan seperti ini.

"Kamu mau tanya sesuatu, tanya aja," ucapku. Zahra berdehem dan memajukan kursinya agar lebih dekat denganku, bahkan ia sampai memajukan tubuhnya.

"Ceritakan semuanya!" perintah Zahra tegas.

"Cerita yang mana?" tanyaku santai dan menyuap sesuap makananku.

"Semuanya Naima, kenapa kamu berhenti bekerja, kemana saja sampai ditelfon pun gak bisa, trus kenapa sekarang bisa ada disini?" tanya Zahra bertubi-tubi.

"Ehmm, oke, semuanya dimulai dari Mas Gibran." kulihat Zahra tampak bingung dengan pernyataanku.

Walau berat rasanya mengulang kejadian itu, tapi aku tetap berusaha menceritakan semuanya pada Zahra.

"Trus hubungan kamu sama Mas Gibran?" tanya Zahra lagi.

"Alhamdulillah hubungan kita sudah membaik, walau sepenuhnya belum, tapi tak lagi seperti dulu," jawabku dengan senyuman.

"Alhamdulillah. Nai, aku minta maaf soal kepergian Abi, aku tidak bisa hadir, saat itu aku ikut Mas Irham."

"Tidak apa Zah, aku ngerti kok," jawabku.

Ya Allah terima kasih telah mengirimkan seorang sahabat seperti Zahra padaku, yang mengerti aku.

🎬

Setelah sekian lama tak berjumpa dengan Hanum, akhirnya kami dipertemukan disebuah acara dirumah Ibu. Walau canggung, namun aku berusaha bersikap sebiasa mungkin.

"Hai Nai, maaf ya aku tidak bisa hadir waktu itu," ucap Hanum yang tiba-tiba sudah duduk disampingku bersama Rara.

"Hai, tidak apa-apa," jawabku seadanya. Untung saja ada Rara yang mampu mengalihkan rasa canggungku pada Hanum. Dari yang kuperhatikan Hanum terlihat biasa saja, sepertinya hanya aku yang berlebihan.

"Bunda kemana aja, setiap Rara pengen kerumah Bunda pasti Papa selalu bilang Bunda lagi sibuk," adu Rara yang mulai bergelayut di lenganku. Hanum hanya tersenyum menanggapi pertanyaan putrinya.

"Maaf sayang, kemaren Bunda sibuk, sekarang kalau Rara pengen kerumah Bunda silahkan aja, atau kalau perlu Bunda jemput," ucapku. Rara terlihat begitu senang, bahkan ia sampai bersorak sambil bertepuk tangan.

"Bahagianya ada apa?" tanya Ibu yang baru saja keluar dari kamarnya. Aku langsung berdiri dan mencium punggung tangan Ibu dan diikuti Hanum.

Rara yang melihat kedatangan Nenenknya langsung mendekat dan bergelayut ditangan Ibu. Aku, Hanum dan Ibu tertawa melihat tingkah Rara yang begitu manja.

"Gibran mana?" tanya Ibu disela candanya dengan Rara. Aku dan Hanum saling pandang sejenak sebelum kembali menatap Ibu yang menunggu jawaban kami.

"Masih dikantor Bu," jawab kami hampir bersamaan. Lagi aku menatap Hanum yang juga balas menatapku, sejenak kami tersenyum menertawakan kelakuan kami.

"Aduh anak ini, sudah Ibu katakan jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan, masih saja. Seperti Ayahnya sekali," omel Ibu.

"Si Fatimah lagi, katanya udah berangkat dari tadi, tapi sampai sekarang belum juga sampai," lanjut Ibu. Aku dan Hanum hanya bisa terdiam.

"Assalamualaikum." suara salam yang begitu ramai terdengar dari arah depan. Refleks kami menjawab dan berpaling menatap kearah depan.

"Wa'alaikumussalam."

Mas Gibran, Mbak Fatimah beserta suami dan anak-anaknya tampak berjalan beriringan menuju ruang keluarga tempat kami berkumpul. Mereka bersama-sama menuju Ibu dan menyalami punggung tangan Ibu.

"Ini dia, anak-anak Ibu yang nakal. Lihat menantu-menantu Umi udah nunggu dari tadi," omel Umi sambil menjewer telinga Mas Gibran yang berada tepat disamping Ibu.

"Aduh..duh, Ibu, anaknya baru juga sampai udah dijewer aja, tuh anak perempuan Ibu juga telat tapi kok gak dijewer," ucap Mas Gibran sambil berusaha melepaskan jeweran ditelinganya. Rara yang melihat tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Nenek dan Papanya.

"Ya salah situ yang udah biarin para pemaisuri menunggu," kompor Mbak Fatimah yang sudah menahan tawa sejak tadi.

"Ibu udah dong, telinga Gibran udah merah nih."

Walau Ibu sedah melepaskan jewerannya tapi Mas Gibran masih mengaduh kesakitan, benar saja telinga Mas Gibran tampak memerah setelah dijewer Ibu.

"Hahahaha, telinga Papa merah, siapa suruh Papa nakal."

Aku (bukan) orang ketiga [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang