45 - Dita & F

19 6 36
                                    

Dita sedang bersandar pada sebuah pohon yang cukup besar. Ia sangat bahagia sekaligus bersemangat, karena ia akan bertemu dengan pengirim surat tersebut, yang ia harapkan adalah Fadi, gebetannya.

Hembusan angin menerpa rambutnya yang tergerai. Walau beberapa kali dedaunan berjatuhan di atas kepalanya, tetapi Dita tak masalah akan hal itu. Yang terpenting adalah ia akan bertemu dengan sang pengirim surat.

Sedangkan di sisi lain, Dewa dan Lia tengah bersembunyi dari balik pohon yang berada agak jauh dari tempat dimana Dita berada. Dita tak tahu jika mereka mengikuti dirinya. Namun jiwa kepo dan kewaspadaan Lia sangat tinggi, jadi ia memutuskan untuk mengikuti Dita.

Sebenarnya keberadaan Dewa di situ bukanlah keinginannya. Tetapi Lia. Karena menurut Lia, bagaimana jika tiba-tiba dirinya lah yang terkena masalah? Walau masih di dalam sekolah sih.

Tapi ya sama aja, bahaya bisa dateng dari mana aja, kan?

"Lo ngapain sih pake ngintilin Dita segala?" tanya Dewa dengan malas. Ia hanya berdiri santai sambil memasukkan kedua tangannya di kedua kantong celana nya.

"Ssst, berisik!" Dewa hanya memutar bola matanya dengan malas. Kalau Lia sudah seperti ini, maka percuma saja jika Dewa bertanya.

Lia langsung kembali mengintip Dita yang sedang menunggu si F itu.

"Issh, kok si F itu lama banget, sih?" gerutu Lia dari balik pohon.

"Ya udah lo balik aja. Ngapain ngintilin orang mau nembak?"

Lia langsung membalikkan badannya menghadap Dewa di belakangnya. Ia menatap Dewa dengan tatapan menebak-menebak, seperti bermain. "Menurut lo, si F itu bakal nembak?"

"Ya kalau bukan buat nembak, terus mau ngapain? Ngajak jualan bakso?"

Lia merubah ekspresinya menjadi datar. Pria di depannya ini, menyebalkan. "Iya, sih. Ah!"

"Ya iyalah bener, gue cowok," cibir Dewa.

"Sejak kapan cowok selalu bener?"

"Lah? Gue gak bilang selalu ben--"

"Ya, terserah. Sekarang gue mau man-- OH GOD, ada yang dateng!" ujar Lia sambil memukul-mukul bahu Dewa untuk meluapkan kebahagiaannya. Saking excited nya.

"Aduh! Woi! Kenapa gue yang dipukulin?" omel Dewa sambil mengelus bahunya.

"Oh iya, maaf, hehe."

Tanpa memperdulikan Dewa, Lia kembali berbalik dan menatap Dita dari balik pohon dengan ekspresi yang sangat bersemangat.

"Woi, liat! Itu Fadi! Anjir woi beneran Fadi!!!" seru Lia. Dan lagi-lagi ia memukul bahu Dewa yang suda berada di sampingnya karena terlalu bersemangat.

Dewa langsung mencekal tangan Lia yang sibuk memukul bahunya, "Lo diem."

"Iya, lepasin tapi!"

Dewa menggeleng, "Gak, sampe lo ngintipin Dita selesai. Atau bahu gue bakal lo pukul terus."

Lia menaikkan bahunya acuh, lalu kembali mengintip Dita dari balik pohon. Sedangkan Dewa hanya sibuk menatap Lia dari dari samping. Sambil sesekali mengalihkan pandangannya ke arah tangan mereka. Sebuah senyuman langsung terulas di wajahnya yang tampak bahagia.

Tangan mereka yang tergenggam. Atau lebih tepatnya Dewa yang memegang tangan Lia. Walau Lia tak membalasnya, tapi Lia juga membiarkannya.

Lama kelamaan, Dewa sudah lelah. Ia berakhir untuk ikut mengintip Dita bersama Lia. Sedikit menyesal karena ia harus ikut bersama Lia. Lebih tepatnya karena ia dipaksa oleh Lia. Jadi, mau gak mau Dewa harus mau.

Unspoken FeelingWhere stories live. Discover now