٣

1.1K 100 11
                                    

Aku kembali mendesah sembari melirik arloji di tangan kiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku kembali mendesah sembari melirik arloji di tangan kiri. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan aku masih saja belum melihat  tanda-tanda  kedatangan  mobil Abi yang akan menjemputku.

Sekali lagi aku mencoba memencet tombol power di ponsel monokromku, berharap layarnya segera menyala dan aku bisa mengirim pesan supaya Abi cepat menjemput. Namun sialnya, ponselku sudah terlalu habis baterai sehingga lampu indikatornya bahkan tak menyala sedikit pun. Aku mendengus pelan, menyesali kecerobohanku yang lupa men-charge HP saat istirahat tadi. Maka dengan lemas, kembali kududukkan pantatku ke kursi tunggu sembari melirik area sekolah yang mulai sepi. Tentu saja, ini sudah terlalu sore bagi siswa-siswi untuk tetap tinggal di sekolah. Sedangkan aku, masih saja belum melihat adanya isyarat kalau Abi akan segera menjemput.

Jangan-jangan Abi lupa menjemputku? dengusku dalam hati.

Tadi, sehabis bertemu Ustaz Firdaus, Abi memang tidak langsung mengajar. Beliau izin pulang terlebih dahulu dan berkata akan menjemput jika aku sudah selesai sore harinya. Namun hingga sekarang, Abi masih saja belum muncul. Aku melipat tangan di dada. Andai saja aku tahu jalan menuju rumah, tentu saja aku akan pulang sendiri atau setidaknya mencari angkutan umum yang bisa membawaku pulang. Tapi sayangnya, aku baru satu hari di kota kecil ini. Dan aku sama sekali linglung jika harus mengingat jalanan yang kulewati tadi pagi.

Mustahil!

Maka sembari menghela napas berat, kulangkahkan kaki menuju gerbang sekolah yang kini hening. Berharap Abi sudah berdiri di sana dan menungguku. Tepat begitu kakiku sukses melewati gerbang, sebuah suara berat mendadak saja mengagetkanku.

"Hei, belum dijemput, ya?"

Refleks, aku menoleh ke arah sumber suara berat yang berada di belakangku itu. Seketika saja, dadaku kembang kempis begitu menangkap sosok yang tadi mengeluarkan suara khas itu.

"Bahri?"

Dia duduk di atas motor bebek kuno berwarna hitam sembari menyandang helm yang belum dipakai. Sebuah peci rajut berwarna putih di kepala nampak menutup sebagian rambut hitamnya. Membuat penampilannya yang begini tak beda jauh dengan tipikal stereotip anak-anak pesantren. Namun biar bagaimanapun, justru dengan beginilah dia terlihat sangat tampan.

"Kamu Syamsul, kan? Puteranya Om Ghufron?" Bahri menatapku dengan sorot penuh tanya. Alis tebalnya bertaut kala keningnya berkerut.

Apakah dia masih ingat denganku?

"Eh? I-Iya, dan kau? Kau Bahri, kan? Anaknya Om Abdullah?" cetusku dengan suara gemetar.

Bahri pun tersenyum.

"Rupanya kau masih mengingatku," tukasnya lembut.

Tentu saja! Aku tak pernah bisa mengenyahkanmu sejak pertemuan malam itu! jeritku dalam hati.

"Iya. Tentu saja. Masa aku lupa sama sepupuku sendiri?"

"Aku sudah tahu kalau Abimu akan mengajar di sini. Tapi aku baru tahu kalau rupanya kamu disekolahkan di sini juga. Aku agak kaget, lho. Soalnya tadi nggak sempat ketemu sebentar pun." Tukas Bahri dengan suara yang makin lama kian terdengar mengaduk-aduk gendang telinga.

SYAMSUL & BAHRI [REPUBLISH]Where stories live. Discover now