Kakak Kelas

71 6 2
                                    

"Murid baru?"

Aku menghentikan langkah lalu melihat ke sekeliling. Tadinya aku berniat ke UKS, menengok salah satu temanku yang tadi nyaris pingsan karena tidak kuat mengikut kegiatan MOS, dan sekarang aku ada di halaman samping sekolah. Sendirian.

Penglihatanku terbentur ke satu sosok yang entah sejak kapan ada. Dia berdiri tidak jauh dariku, terlindung bayangan pohon di dekat pagar. Seorang siswa. Badannya tinggi dan wajahnya lumayan tampan meski sedikit pucat. Dari badge di lengan kirinya yang berwarna merah, menandakan bahwa dia kelas tiga.

Kakak kelas, batinku, sementara dia berjalan mendekat.

"Wah! Kamu bisa mendengar dan melihatku 'kan?" ujarnya lagi dengan wajah sumringah. "Syukurlah. Aku sebal sekali dengan teman-teman, entah mengapa mereka berlagak tidak meresponku. Guru-guru juga begitu, ikut-ikutan berlaku aneh."

Aku menarik napas dalam, terasa berat sekali sewaktu menghembuskannya.

Selama~at.

Terdengar suara lirih bernada mencemooh dari sebelah kiriku, disusul decakan sebal dari sebelah kananku.

"Ah, tolong jangan berpikiran buruk tentangku," ucapnya buru-buru, menyadari sikapku yang hanya diam memandangnya. "Aku menyapamu karena khawatir melihatmu berjalan sendirian."

"Khawatir?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Eh, itu ...." Dia melirik sekilas ke arah pohon asam besar yang berdiri di pojok halaman. "Kita pergi dari sini dulu, yuk. Nanti kuberitahu," ajaknya, bergegas pergi.

Aku masih terdiam, membuatnya berhenti dan menoleh ke arahku, lalu tersenyum ramah.

"Ayo, ikutlah. Tenang saja, aku nggak bermaksud buruk, kok," bujuknya.

Mengikuti orang asing yang baru ditemui, jelas bukanlah hal cerdas. Apalagi, yang harus kuikuti adalah dia. Namun setelah beberapa kali menghela napas, akhirnya aku menyusul.

°°°

"Maaf, ya. Pasti kamu kebingungan." Siswa itu kembali berkata ramah saat akhirnya kami duduk di undakan depan perpustakaan.

Sekitar kami sepi karena hampir semua murid dan guru berkumpul di halaman depan sekolah atau ruang guru. Suara arahan panitia MOS atau suara yang lainnya, hanya terdengar sayup di sini.

Bahkan ruang perpustakaan pun tutup, membuatku bisa bersandar santai di rolling door-nya.

"Anu, mungkin ini terdengar nggak masuk akal." Suaranya terdengar ragu dan dia berdeham beberapa kali. "Namun, ada yang aneh—" dia membuat isyarat tanda petik dengan jarinya, "—di sekolah ini."

Aku sedikit memiringkan kepala, memandangnya bertanya, menanggapi suaranya yang semakin lirih.

"Ah, begini. Maksudku ...," dia sedikit gugup memberi jawaban, "a—ada sesuatu. Misalnya ...," dia melirik ke arah kamar mandi siswi yang berada di sebelah kiri kami, "di sana," bisiknya, "ada banyak sosok penunggu yang menyeramkan."

"Lalu ...," kali ini pandangannya beralih ke kolam ikan yang ada di depan kamar mandi. Keadaannya kotor dan tanpa ada satu ikan pun. Bahkan airnya sampai berwarna hijau dan sedikit berbusa. "Hati-hati, di kolam ikan itu terkadang aku melihat ada kepala yang menyembul."

"Yang paling membuatku seram adalah penunggu di pohon asam di halaman samping tadi. Makanya aku mengajakmu segera pergi dari sana."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 03, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jurnal CatatankuWhere stories live. Discover now