bag 34. Rapuh

1.8K 147 3
                                    

Setiap manusia punya sisi rapuhnya sendiri. Jadi jangan samakan dirimu dengan orang lain.

|▪|▪|▪|▪|▪|

"Nyu bangun."

Aku membangunkan Penyu sambil menarik selimut yang menutupi tubuhnya. Dia mendengung masih dengan menutup matanya lalu tangannya meraih raih selimut yang baru saja kutarik. Begitu di dapat Penyu langsung menutupi wajahnya dengan selimut.

Aku memutar bola mataku kesal lalu menarik selimutnya kembali. Penyu mencebikkan bibirnya masih dengan menutup matanya. Dia sudah tidak peduli jika selimutnya aku ambil. Yang terpenting bagi dirinya adalah tidur. Padahal ini anak kemarin malam tidur jam 7 malam gak begadang sama sekali tapi sekarang kok susah banget di bangunin.

"Bangun Nyu," kataku masih tidak mau menyerah. Kini aku menggoyang goyangkan lengannya. "Ini anak mentang mentang aku sudah bisa masak di tungku kau pasrahkan semuanya ke aku."

"...."

"BANGUN WOY!!!"

"Berisik," ujarnya sambil menutup kedua telinganya. Lalu Penyu berbalik membelakangiku. Aku berusaha menahan diriku untuk tidak meledak. Sabar Bulan sabar ayo sabar.

JEDARRRR

Penyu langsung bangun dari tidurnya karena suara keras yang muncul tiba tiba dari arah luar. Matanya memerah menatapku sebentar lalu berdiri dari tidurnya. Aku tidak mempedulikannya lagi, aku langsung berlari keluar rumah dinas untuk mencari sumber suara.

Ternyata di depan pos militer beberapa tentara sedang mengatur sound berukuran 50 cm × 50 cm. Penyu datang tak lama kemudian dengan nafas ngos ngosan bersandar di pintu.

"Test 1 test 2 test 3," ucap Pak Budi dibelakang mic yang dia genggam. Serda Riski memutar mutar volume yang ada di sound sembari mendengarkan Pak Budi bersuara.

"Baik. Selamat pagi semuanya. Saya harap untuk TNI, Polri, Relawan dan warga untuk berkumpul di depan pos militer melaksanakan latihan bela diri bersama. Acara ini tidak wajib," jelas pak Budi dari bali mikrofon.

"Astagfirullah ternyata cuma mau bilang itu. Aku sampek kaget loh mbak," ucap Penyu sambil memegang dadanya. Aku mengeplak kepalanya.

"Makanya kalo disuruh bangun tuh langsung bangun," kataku. Dia mengerucutkan bibirnya lalu mengacak acak rambutnya yang sudah acak acakan. "Buruan cuci muka sana. Kita latihan bela diri."

Penyu menggeleng. "Capek mending tidur." Dia akan berbalik untuk kembali tidur. Tapi aku buru buru menarik kerah bajunya. "Mbakkkk," rengek Penyu agar aku melepaskannya.

Aku tidak mempedulikan rengekannya dan menariknya menuju pos militer. Biarkan saja wajahnya acak acakan dan kusam karena belum cuci muka. Yang terpenting Penyu menjalani hidup sehat. Semenjak sekolah libur kerjaannya kalo gak tidur sampai siang ya ngintip klinik kesehatan.

"Bulan mau latihan bela diri juga," kata Pak Budi begitu melihatku. Aku menjawabnya dengan mengangguk.

"Abimanyu juga Pak," kataku. Sebelum Penyu berbalik untuk kembali tidur di kamarnya. Anak itu hanya mengerucutkan bibirnya.

Tak lama kemudian setelah pengumuman dari Pak Budi diumumkan banyak orang orang yang mendatangi pos militer. Tentara dan Polisi kini sudah menggunakan seragam bela diri kebanggaan mereka masing masing. Aku dan Penyu memilih menggunakan pakaian olah raga. Kalo relawan kesehatan menggunakan seragam olah raga dengan model yang sama.

"Mbak aku laper," rengek Penyu sambil memegang perutnya. Kami berdua sedang duduk di tikar yang sudah disediakan menunggu beberapa tentara dan polisi melakukan adegan bela diri bersama.

Aku menoleh padanya sebentar. "Itu salahmu waktunya bangun masih sibuk sama liurmu," balasku. Dia mengerucutkan bibirnya dan terdiam.

Aku menatap beberapa tentara dan polisi kini sudah memasuki tempat yang sudah disediakan. Mereka berbaris sesuai formasi. Lagu menghentak hentak di setel melalui sound dan mereka melakukan adegan bela diri sesuai lagu tersebut. Benar benar keren. Penyu sendiri bahkan sudah mengambil kamera dan merekam acara ini.

Letkol Kalan dan Iptu Dimas memimpin acara ini. Mereka bahkan sudah berada di barisan terdepan saling menjatuhkan satu sama lain. Begitu lagu berhenti mereka langsung berdiri dan bersalaman. Tepuk tangan riuh dari barisan penonton bersorak begitu acara selesai.

Iptu Dimas langsung mengambil mikrofon yang diberikan oleh Pak Budi. "Ayo siapa yang mau latihan bela diri bareng kita?" tanyanya. Para penonton hanya diam enggan untuk mengangkat tangan. "Gak ada yang mau ini? Biar saya tunjuk ya?"

"Mbak Bulan," panggil Penyu berbisik padaku saat Iptu Dimas sedang berkeliling mencari target. Aku menoleh padanya. "Ketek Mbak Bulan kenapa?" tanya Penyu masih dengan berbisik.

"Hah?" Aku mengangkat tanganku untuk melihat ketekku. Tidak ada yang aneh dengan ketekku, tetap tertutup oleh baju lengan pendekku. Kutatap Penyu berniat untuk bertanya maksudnya tetapi Iptu Dimas sudah lebih dulu menyebut namaku membuatku menoleh padanya.

"Yak bu guru Bulan mau mencoba dulu ya latihan bela dirinya," ujarnya. Aku membuka mulutku, ternyata Penyu mengerjaiku. Kulihat Penyu tertawa sambil menunjukkan tanda peace. Sialan.

"Bu Guru mau pilih latihan sama saya atau Letkol Kalan?" tanya Iptu Dimas padaku.

Aku masih dengan keterkejutanku menatap Iptu Dimas dan Letkol Kalan bergantian. Dua orang di hadapanku menunjukkan mimik wajah yang berbeda. Iptu Dimas dengan wajah cerianya dan Letkol Kalan dengan mata tajamnya.

"Sama Iptu Dimas saja," putusku final.

|▪|▪|▪|▪|▪|

"Nte Bulan."

Aku yang sedang menulis jurnal di depan pintu menoleh. Langit berdiri tidak jauh dariku. "Ada apa Langit?" tanyaku.

"Nte Bulan gak liat ayah?" tanyanya padaku. Aku menggeleng. Langit langsung mengerucutkan bibirnya. "Dari tadi ayah dicali cali sama Langit gak ada," ucapnya.

Aku meletakkan buku jurnalku ke meja ruang tamu lalu mengambil sandal dan keluar. Langit masih disana menungguku. "Ayo cari ayah," kataku sambil menggandeng tangannya. Dia mengangguk lalu menerima uluran tanganku.

Diperjalanan menuju pemukiman bawah, aku berpapasan dengan Kapten Orland. Dia sedang membawa cangkul yang sudah kotor oleh lumpur. "Kapten gak lihat Letkol Kalan?" tanyaku padanya.

Letkol Kalan menatapku lalu nampak berfikir sebentar. "Coba cek ke bukit ilalang saja sana. Siapa tau dia disana," ujarnya. Aku langsung mengangguk dan mengajak Langit menuju Bukit Ilalang.

"Kamu tunggu sini aja ya Langit. Soalnya jalan ke atas agak sulit," ucap aku sesampainya di tangga bawah menuju Bukit Ilalang. Langit mengangguk menungguku yang sedang berjalan menuju Bukit. Dia diam dan patuh sembari menatap ke atas bukit.

Sesampainya di atas bukit, ucapan Kapten Orland benar. Letkol Kalan sedang duduk disana sambil menutup kedua wajahnya dengan tangannya. Tubuhnya nampak bergetar seperti sedang menangis. Entah kenapa aku jadi teringat ucapannya hari itu.

"Bodohnya saya masih mencintai istri saya."

Aku memutuskan untuk berbalik menuruni bukit. "Ada ayah nte?" tanya Langit begitu aku sampai bawah. Aku menggeleng pelan.

"Kita pulang aja ya. Mungkin ayah sudah ada disana," bujukku. Langit langsung mengangguk tanpa bertanya lagi. Dia menarikku untuk kembali pulang. Aku menoleh sebentar ke arah Bukit Ilalang sebelum akhirnya aku melanjutkan langkahku.

Mungkin Letkol Kalan masih membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya. Sekuat kuatnya dia pasti ada sisi rapuhnya.

Karena Letkol Kalan sama sepertiku. Dia masih manusia.

Bukan Serigala.

|▪|▪|▪|▪|▪|


Selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan selanjutnya.

Salam,

Elga senjaya

12 mei 2021

Bulan Di UfukTimur [#3.SGS] (Tersedia E-book)Where stories live. Discover now