Bab 10

1.1K 137 16
                                    

~BRIE~

Aku tidak menyangka bahwa mendekati Arthur sangatlah sulit. Kupikir, dengan dia sedikit membuka diri dan menikah denganku, akan lebih mudah bagiku untuk mendekatinya dan membuatnya semakin terbuka. Tapi, ternyata tidak.

Sudah beberapa minggu kami menikah, tapi Arthur tetap menjaga jarak dan sulit terjangkau. Kami memang tidur sekamar dan seranjang. Tapi, dia tidak ingin dekat-dekat denganku. Selain itu, dia juga pemarah. Karena begitu pemarah, terkadang aku sampai bingung dan bertanya-tanya tentang apa kesalahan yang kuperbuat. Sedangkan di sisi lain, dia hanya marah dan terus berkata kasar tanpa mau menjelaskan kesalahanku.

Selain itu, selama ini dia juga sering sekali menyendiri di ruang kerjanya. Atau kalau tidak, dia akan pergi ke hutan atau ke kota sepanjang hari dengan meninggalkanku sendirian di rumah dan baru pulang saat sudah sore atau larut malam. Dia benar-benar tidak ingin aku dekat dengannya.

Walaupun sampai sekarang Arthur belum bisa bersikap baik padaku, tapi aku tidak menyerah. Aku akan terus berusaha mendekatinya. Mungkin, aku terkesan seperti wanita yang tidak tahu malu karena masih terus saja mendekatinya walaupun Arthur sendiri sudah berulang kali menolakku. Arthur juga sangat sering mengataiku sebagai pengganggu ketenangannya. Setiap kali dia marah, menolak atau mengataiku dengan kasar, aku hanya diam lalu minta maaf padanya. Tapi, tetap saja setelah itu aku akan kembali berulah. Dan ulahku itu selalu berhasil membuatnya kesal dan marah. Seperti pagi ini misalnya.

"Dimana kau menyimpan peralatan pertukangan milikku?", tanyanya ketus dan dengan ekspresi kesal.

Aku yang sebelumnya sedang merapikan tanaman di depan rumahnya, kini mendongak dan menatapnya. Lalu, aku mencoba mengingat-ingat dimana aku menyimpan barang-barang Arthur yang kurapikan minggu lalu.

"Oh, aku meletakkannya di sudut teras belakang rumah.", jawabku.

"Lain kali, kau jangan lancang dan sembarangan memindahkan barang-barangku. Kau seenaknya menata dan mendekor ulang rumahku hingga membuatku bingung saat mencari barang-barangku.", peringatnya. Setelah itu, dia masuk ke dalam rumah.

Sekitar lima menit kemudian, Arthur keluar lagi. Kali ini, dia hanya mengenakan kaos singlet berwarna putih yang sedikit kusam dan dipadukan dengan celana jeans belel berwarna biru pudar. Serta, rambutnya yang panjang juga sudah diikat rapi di belakang kepala. Selain itu, sebelah tangannya memegang kapak. Dan tangan yang lain membawa sekotak peralatan tukang. Arthur terlihat sangat tampan, panas dan seksi dengan penampilannya yang seperti ini.

"Kau mau kemana?", tanyaku setelah sadar dari kekagumanku terhadap ketampanan dan penampilan Arthur.

"Ke hutan.", balasnya singkat lalu pergi dari rumah.

Sementara, aku hanya bisa mendesah lelah menghadapi sikap Arthur yang terus saja dingin padaku.

***

Aku baru saja pulang dari rumah orang tua dan mertuaku. Dan sepulang dari sana tadi, aku juga mampir ke pasar untuk berbelanja bahan makanan. Malam ini, aku berencana ingin memasak grilled salmon untuk makan malamku dan Arthur. Karena saat aku mampir ke rumah mertuaku tadi, mereka mengatakan bahwa Arthur sangat menyukai ikan salmon. Maka dari itu, aku ingin membuat makan malam spesial dengan menu kesukaannya malam ini.

Aku sampai di rumah sekitar jam lima sore. Dan saat aku pulang, keadaan rumah tampak sepi. Sepertinya, Arthur kembali keluar, entah ke hutan atau ke kota, aku tidak tahu.

Sambil menunggu Arthur pulang, aku memutuskan untuk mulai memasak menu makan malam.

Sekitar satu jam kemudian, aku mendengar suara pintu depan rumah terbuka. Lalu, aku melihat Arthur masuk ke dalam rumah. Jika dilihat dari penampilannya yang berkeringat serta beberapa bagian kaos singlet putihnya yang tampak kotor, sepertinya Arthur baru pulang dari hutan.

"Arthur, kau sudah pulang?", aku bertanya dengan riang.

Arthur hanya membalas pertanyaanku dengan deheman. Tanpa menolehku, dia langsung masuk ke dalam kamar. Mungkin, dia ingin segera mandi.

Sedangkan, aku lanjut memasak makan malam.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Arthur keluar dari kamar. Sekarang, dia sudah tampak segar dengan mengenakan kaos rumahan dan celana levis longgar sepanjang lutut. Serta rambutnya yang panjang dan basah dibiarkan tergerai. Dia berjalan menuju ke dapur.

"Makan malam sudah siap.", ucapku riang karena merasa puas akan hasil masakanku yang tampak lezat dan bisa menunjukkannya pada Arthur.

Arthur hanya diam dan langsung duduk di kursinya. Walaupun dia sudah tahu bahwa menu makan malam kali ini adalah grilled salmon, tapi dia tidak berkomentar apa-apa.

"Oh ya, Arthur. Tadi siang, aku pergi ke rumah orang tuaku dan orang tuamu. Aku berada di sana selama berjam-jam. Dan saat berada di rumah orang tuamu, ibu mertua mengatakan bahwa kau sangat suka ikan salmon. Maka dari itu, aku memasak menu grilled salmon spesial untukmu malam ini.", aku bercerita padanya.

Bukannya menanggapi ucapanku, tapi Arthur malah menggebrak meja makan.

"Bukankah sudah kukatakan padamu berulang kali, berhenti melakukan segala sesuatu untukku! Jangan berpura-pura ingin menyenangkanku! Apa kau tidak dengar? Aku tidak butuh kau melakukan semua itu untukku.", ucapnya marah.

Dia mulai lagi. Dia selalu saja marah hanya karena hal-hal kecil dan tanpa sebab.

"Memang apa salahnya jika aku melakukan sesuatu untukmu, Arthur? Kau adalah suamiku. Apa salah jika aku melakukan sesuatu yang spesial untukmu?", kataku yang berusaha tetap tenang dan tidak terbawa emosi.

"Ya. Kau salah. Kau sangat salah. Kenapa? Karena dengan kau terus melakukan sesuatu yang kau anggap spesial itu, aku jadi semakin membencimu. Kau tidak perlu bersikap munafik dengan pura-pura peduli padaku. Karena aku sangat benci orang munafik seperti dirimu."

Satu hal lagi yang baru kutahu tentang Arthur. Dia akan sangat marah setiap kali aku mencoba bersikap manis atau perhatian padanya. Dia selalu menuduhku munafik dan berpura-pura karena peduli padanya.

"Siapa yang munafik? Aku tidak pernah bersikap munafik. Aku sudah berulang kali menjelaskan padamu. Aku tidak pernah berpura-pura atas sikap dan perbuatanku padamu selama ini. Aku bersikap baik dan perhatian karena aku memang peduli padamu. Kau saja yang terlalu sensitif dan selalu berpikiran negatif tentang diriku. Itu sebabnya kau tidak bisa melihat ketulusan dan perhatian dalam setiap perbuatanku.", ucapku yang kini juga ikut emosi.

Arthur berdiri dari kursinya lalu mendekat ke arahku dengan cara yang sangat menakutkan dan penuh intimidasi.

"Berhenti bicara! Atau aku akan menyakitimu!", ucapnya memperingatkanku. Ekspresi marahnya terlihat sangat menyeramkan.

Tapi, aku tetap tidak takut ataupun bergeming. Aku sudah sering melihat ekspresi Arthur yang marah-marah seperti ini. Jadi, aku sudah terbiasa.

Setelah itu, dia pergi dari ruang makan.

"Kau tidak jadi makan malam?", tanyaku yang masih peduli padanya dan mengabaikan peringatannya tadi.

Bukannya menjawab pertanyaanku, tapi Arthur malah pergi begitu saja dan langsung masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia juga menutup pintu ruang kerjanya dengan keras dan kasar.

Sedangkan, aku kembali mendesah lelah. Aku merasa sedih karena makan malam spesial yang sudah kusiapkan untuk Arthur kini sia-sia. Bukannya menikmati makanan buatanku, tapi Arthur malah marah padaku. Dengan perasaan yang kecewa, aku makan malam sendiri tanpa Arthur malam ini.

***

Love For The BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang