3

396 123 33
                                    

.

.

.

JEJE dengan wajah merengut sibuk mengikat buncis menggunakan tali dari bambu. Sepulang sekolah niatnya ia ingin ikut bermain layangan bersama Marko dan Hari di lapangan samping balai desa. Namun ayahnya malah menyuruh Jeje membantu mengikat dua karung buncis menjadi ikatan-ikatan kecil.

"Bapak gaplok mulutmu! Manyun terus kalo disuruh orang tua! Iket yang bener!" ucap ayahnya Jeje, Pak Sugeng.

"Ini kan lagi aku iket, Pak!"

"Kalo bantu orang tua itu yang ikhlas, jangan apa-apa dikeluhin. Lihat tuh si Abi, rajin banget bantu orang tuanya."

Jeje semakin memasang wajah masam kala ayahnya mulai membanding-bandingkan dirinya dengan anak tetangga, terlebih temannya sendiri. Ia tahu jika dirinya tak serajin Abi. Tapi dibandingkan seperti itu tentu membuat Jeje tak suka.

"Kalo buncis ini gak segera dijual ke pasar sampe besok, kita gak bakal bisa makan." Pak Sugeng duduk di samping Jeje dan mulai ikut mengikat buncis-buncis dalam karung.

"Tabungan Bapak sama Ibu udah habis buat bayar biaya abangmu ujian praktek dan persiapan UN. Buat sekarang cuma ini yang kita punya."

Jeje melirik ayahnya kemudian menunduk. "Jeje juga belum punya LKS, Pak. Padahal bentar lagi udah mau UTS. Anak-anak yang lain udah banyak yang beli."

Pak Sugeng tersenyum, "nanti Bapak cari uang lagi. Buat sekarang pinjem dulu ke temen. Bapak usahakan minggu depan kamu udah bisa beli LKS."

"Kalo uangnya belum ada, gak usah buru-buru Pak. Aku pinjem punya Luki aja."

"Ini kewajiban Bapak. Kamu sekolah aja yang bener dan jujur. Jangan kayak Bapak sama Ibu yang cuma lulusan SD. Kamu sama abangmu berhak jadi orang sukses yang berpendidikan."

.

.

"Bapak! Aku mau beli sepeda! Bapak udah janji dari tiga bulan lalu kalo mau beliin aku sepeda!"

Marko merengek sambil memeluk tiang penyangga rumahnya. Ia menatap kesal ayahnya yang sedang mengikat puluhan tandan pisang di depan rumah. Ayahnya Marko adalah seorang tengkulak yang membeli berbagai macam hasil bumi dari para petani di desa maupun luar desa.

"Nanti kalo kamu udah masuk SMP Bapak belikan."

"Mau sekarang! Bapak udah janji dari dulu, jangan bohong!"

Pak Agus, ayahnya Marko mengehela nafas. Putera satu-satunya itu begitu keras kepala dan manja. Meskipun Marko adalah anak satu-satunya, namun tak lantas membuat Pak Agus dan istrinya memanjakan Marko secara berlebihan.

"Kalo nilai UN kamu bagus, minimal masuk tujuh besar di kelas Bapak belikan."

"Ah! Bapak banyak ngelesnya! Bapak tukang bohong!"

"Kamu udah gede, harus tahu gimana berjuang buat dapetin sesuatu. Kalo kamu begini terus sampe dewasa ke orang tua, emangnya gak malu?"

Marko mencebik membuat Pak Agus mengehentikan pekerjaanya dan menghampiri sang putera. "Coba kamu lihat teman-teman kamu yang keadaan ekonominya ada di bawah kita, harusnya kita bersyukur masih bisa makan enak, bisa sekolah, punya uang jajan tiap hari. Membeli barang-barang yang posisinya gak terlalu mendesak masuk ke pemborosan."

Di bawah Langit | NCT DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang