Tema: Perjodohan

3 0 0
                                    

Ipen Wiken, 27 Maret 2021

Tema: Perjodohan

Majas: Ironi

Kata kunci:
Lupa diri
Terkatung-katung
Gatal hati
Seribu janji
Dusta

PseuCom

*****

Baru bulan lalu Rum merasakan nyeri akibat darah yang keluar dari kemaluan. Ketika itu ibu bilang, Rum sudah balig, sudah menanggung dosa sendiri. Saat Rum menimpali dengan omongan sudah layak kawin, ibu tertawa sambil berkata, “Kamu kenal Bang Kosim? Dia lagi nyari perawan, tuh.” Rum hanya mesem tanpa tahu ibu dan Kosim sudah kongkalikong. Sudah berencana mengangkat duda tiga anak itu sebagai mantu. Bahkan belum habis napas istri Kosim, ibu sudah memperlakukan Kosim layaknya anak. Padahal, ibu lebih muda enam tahun dari Kosim. Sementara, Rum sudah menganggap Kosim seperti bapaknya yang sudah lama mati. Jadi, begitu Kosim datang dengan dandanan necis dan membawa segala keperluan seserahan, Rum mingkem.

“Kamu mau, 'kan, Rum?”

Rum melirik ibunya yang sedari pagi semringah. Dia baru tahu alasan kenapa dari pagi buta ibunya sudah sibuk di dapur. Masak ini-itu, pakai kebaya lengkap dengan konde, dan menyuruh Rum turut berhias diri. Rum ingat kalau dilamar jangan langsung menolak. Pikirkan dulu. Namun, lelaki yang datang adalah Kosim. Sekali pandang lagi, Rum tentu ingin buang muka.

“Kalau kamu nikah sama saya, saya bisa jamin hidup kamu sama ibumu.” Kosim yang duduk di seberang Rum tersenyum. Gigi emasnya mengintip. Sedangkan tiga lelaki tua yang ikut bersama Kosim mengangguk.

Gatal hati Rum. Ingin rasanya dia bersumpah serapah. Apa Kosim sudah lupa diri? Rum bahkan lebih muda dari anak sulung Kosim. “Rum  enggak mau, Bu.”

Ibu melongo. Kosim tercengang. Rum langsung melesat dan mengurung diri dalam bilik bekas tempat bapaknya bekerja. Bilik itu ada di luar rumah, beberapa langkah dari sumur.

Sewaktu kecil, Rum sering bermain di sana. Sembari memperhatikan tangan bapak yang memahat dan terkadang memolesi wayang golek, Rum bercerita tentang apa saja. Bapak akan sesekali menimpali dengan tawa dan tanya. Sekarang, setelah bapak dikebumikan, setiap hari setelah masak, Rum akan mengelap semua wayang golek yang dibuat bapak. Meski beberapa sudah pudar warnanya, tidak ada yang Rum buang. Rum juga rela ikutan jadi buruh kancing untuk mengganti dinding anyaman bambu bilik yang lapuk dan bolong. Ibu memang menganggap bilik ini sebatas kenangan punya bapak. Namun, Rum lebih senang berkeluh kesah di sini. Seolah ada bapak dan memang ada yang menyahuti.

“Benar dugaanku, 'kan?”

Rum mendengkus. Dia duduk di lantai sambil memangku sebuah wayang golek. “Aku heran, kok bisa-bisanya ibu begitu.” Dielusnya pelan wajah si wayang.

Wayang golek yang masih belum dipoles cat itu mengikik. Kepala yang menampakkan sepasang mata bulat besar dan gigi tonggos itu menggeleng pelan. Ada cekungan kecil di tempurungnya, bekas dibanting ibu. “Kamu masih kecil. Belum paham dusta para duda. Mereka bisa menyebarkan seribu janji. Habis rupamu dimakan usia, sudah pasti batinmu terkatung-katung karena dia bakal cari yang lebih molek.”

Rum mengernyit. Membayangkan didandani dan disandingkan dengan Kosim saja sudah buat bulu kuduknya meremang. Dia tidak marah, kalau ibunya yang akan dijadikan pengantin. Namun, jika dia ....

Rum memegang lehernya. Pada rantai kalung tangannya terkepal. “Tahu begini enggak bakal aku pakai kalung dan anting dari dia. Enggak bakal juga aku terima uang jajan---”

Bahu Rum menjengit ketika pintu bilik dibuka, nyaris seperti didobrak. Ibu berdiri di ambang pintu. Berkacak pinggang ibu menghampiri Rum. Dicekalnya lengan atas Rum untuk berdiri. “Rum, ibu sudah pernah bilang, 'kan? Jangan asal tolak lamaran. Pamali!”

“Tapi Rum enggak mau nikah sama Pak Kosim, Bu.”

“Terus, kamu mau apa? Sudah bagus ada yang mau cepat lamar. Kamu mau seperti Ajeng yang hamil di luar nikah terus diusir dari kampung? Apa kamu cuma mau di rumah terus? Main dalang-dalangan terus? Kamu sudah besar, Rum. Mau apa lagi? Mas Kosim sudah mapan. Punya sawah dan kambing. Hidupmu bakal terjamin. Dia mati mendadak pun, bisa kamu dapat warisan.”

Rum meringis. Takut-takut dia tatap mata ibunya yang berair. “Ibu nangis?”

“Malu ibu, Rum!” Ibu melepaskan cekalannya. “Minggu depan Mas Kosim ke sini lagi. Ibu mau kamu menerima lamaran Mas Kosim.” Ibu lantas keluar.

Rum langsung terduduk di lantai plester bilik. Tangannya kembali mengelus kepala si wayang golek.

“Terima saja.”

Rum tersentak. “Habis kamu bikin aku tambah takut, sekarang kamu mau aku kawin sama Pak Kosim?” Rum menatap lekat-lekat mata besar dan bulat si wayang.

“Dilawan, toh, percuma. Kamu masih cilik. Paling nanti ibumu bakal ancam buat buang aku dan yang lain. Sebelum itu terjadi, kamu terima saja.”

Biasanya, apa pun saran si wayang Rum setuju. Namun, kali ini berat untuk mengangguk.

“Bilang pada calon suamimu, kalau kalian menikah, dia harus mau menanggung aku dan yang lain. Itu syarat yang harus dia lakukan.”

Rum mengernyit. Dibawa atau tidak, tetap dia sendiri yang akan berhadapan dengan Kosim.

“Jangan takut. Aku akan selalu ada di pihakmu. Asal kamu terus rawat aku dan yang lain, si duda itu tidak akan bisa sakiti kamu.”

Rum masih enggan menyahut.

“Seperti yang dulu pernah aku lakukan ke bapakmu.”

“Bapak?”

“Iya. Pernah beberapa kali aku lindungi dia dari kiriman orang. Usahanya juga laris. Kamu pikir, aku muncul begitu saja? Ada perjanjian di antara kami, bahkan sampai cicitnya. Asal kalian mau merawat kami.

“Jangan takut, Rum. Terima lamaran dia dan ambil yang bisa kamu ambil.” Lalu, dia tergelak. Suara tawanya bergema keras di kepala Rum. “Mumpung dia masih lemah. Pagarnya belum kuat. Bukankah kamu mau jalan-jalan ke kota? Sekaranglah waktunya menabung.”

Masih ragu, tapi Rum tersenyum.

“Lebih cepat, lebih baik.”

Kemudian Rum meletakkan kembali hasil karya bapak ke lemari dan lekas menyambangi kamar ibu, meminta maaf dan menyatakan bersedia dipinang Kosim.



****

Telat banget, iya.
Hari ini udah kayak manten yang baru duduk semenit udah harus berdiri lagi.

#tepukjidat.

Event MingguanWhere stories live. Discover now