Tema: Taman Bermain

1 0 0
                                    

Ipen Wiken, 24 April 2021

Majas: Litotes

Kata kunci:
Duduk bersanding bersenda gurau
Jangan renggut matahariku
Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Cintaku meletup-letup seperti kembang api

PseuCom
tipingers

****

Sebelum dia tamat banyak sanjungan yang tersemat. Begitu kuat lontaran pujian itu, tidak membuat dia diam dan puas. Saban hari, kala sinar matahari masih redup menyorot, dia sampaikan kepada alam untuk mampir barang sebentar ke tempatnya yang tidak seberapa. Dia hanya punya pagar bercat warna-warni, seluncuran yang digemari, air pancur yang siap menghibur, deretan pohon yang menyejukkan hawa, bangku-bangku kayu yang menjadi favorit berpasang-pasangan manusia, ayunan yang selalu diperebutkan, dan jungkat-jungkit kegemaran para bocah. Sebatas itu yang dia punya. Dan alam selalu menggemakan inginnya. Dalam setiap embusan angin, alam bantu dia untuk dikunjungi lebih banyak orang, bahkan hewan yang datang tidak hanya sekadar menumpang buang air besar.

Dalam masa kejayaannya, setelah matahari diganti lampu-lampunya  yang menyala otomatis, yang berkerumun bukan lagi para bocah. Mereka adalah golongan muda yang membentuk kelompok masing-masing. Beberapa memainkan gitar sembari lesehan di bawah pohon. Mendendangkan lagu tentang kebersamaan, berharap bahwa kemesraan ini janganlah cepat berlalu. Sebagian yang lain duduk bersanding bersenda gurau di bangku kayu. Sementara sisanya, mereka adalah remaja tanggung yang ingin mencicipi memiliki pasangan hidup. Para remaja tanggung itu biasanya menempati sisi yang minim cahaya. Di sana mereka saling berlomba tentang pembuktian. Soal cintaku yang meletup-letup seperti kembang api.

Ah, dia memang sebaik-baiknya tempat memadu kasih dan merangkai tawa anak-anak. Dia yang selalu menamakan diri sebagai tempat yang tidak seberapa bagus dibanding warna-warni pelangi, nyatanya mampu menghadirkan nuansa yang disukai alam. Fungsinya sudah terpenuhi dan akan terus begitu andai saja dia bukan sekadar saksi bisu.

Dari pagi sampai petang, semua berjalan seperti biasa. Namun, ketika malam datang, tidak seperti yang sudah-sudah. Para orang muda undur lebih awal. Mungkin karena langit yang merah dan gemuruh yang terdengar setelah kilat singkat muncul. Malam itu dia hanya mendengar deru angin dan perlahan rintik yang mulai membasahi semua yang dia punya.

Dikira akan berlalu tanpa kejadian heboh, ternyata ada sepasang yang tertinggal. Lama mereka duduk di bangku kayu. Yang satu sudah ingin beranjak, yang satu masih menahan. Dalam percakapan mereka tak ada nada lembut, yang biasa dilontarkan sepasang sahabat. Mereka justru saling meninggikan suara. Yang berambut panjang bilang, jangan renggut matahariku. Yang berambut ikal menimpali, perasaan cinta tidak bisa ditahan dan disalahkan. Perseteruan mereka semakin sengit seiring rintik yang berubah menjadi deras.

Dia ingin menengahi. Dia minta kepada alam untuk menarik siapa pun yang bisa melerai. Namun, tidak ada yang datang. Kedua wanita itu sudah cakar-mencakar, tarik-menarik, tindih-menindih, hingga salah satu yang mendominasi mencekik yang sudah terkapar. Yang terkapar menggelepar, kemudian diam membatu. Yang masih bernapas sebentar termenung sebelum akhirnya dengan sekuat tenaga menyembunyikan jasad temannya di selokan belakang toilet. Menutupi jasad itu dengan sampah dan pulang.

Dia yang dititipi mayat merasakan firasat buruk. Pagi, dia kembali meminta kepada alam, dikatakan semua yang dia rasakan semalam. Alam bertindak cepat, menyarankan untuk meminta bantuan pada makhluk hidup. Melalui seekor anjing yang sering mampir, dia tarik indra penciuman si anjing agar bergerak ke selokan. Dia paksa si anjing menggonggong terus dan tertariklah si pemilik.

Ada tubuh tak bernyawa di selokan. Berambut ikal dan berjenis perempuan. Setelahnya, polisi datang. Jenazah itu dibawa pergi. Dia kira, semua sudah berlalu. Memang berlalu, tetapi tidak ada nuansa seperti dulu. Beberapa kali polisi datang. Mengecek dan menanyai orang-orang. Lebih dari polisi yang mondar-mandir, ada kabar tidak enak.

Dari angin dia tahu ada desas-desus. Orang-orang menjabarkan kejadian itu sebagai akar dari tindak kriminal beruntun yang marak terjadi. Ada juga yang berpendapat, itu pembunuhan atas dasar dendam. Mau seperti apa spekulasi mereka, buntutnya adalah hawa mistis yang dibesar-besarkan. Padahal hanya angin, tetapi digambarkan ada sosok halus duduk di ayunan. Padahal hanya kucing liar, tetapi dikisahkan seperti ada yang mengesot di semak-semak. Padahal terlalu banyak terkena angin dan jajan sembarangan, tetapi diobati seolah ditempeli.

Perlahan, dia yang sering dikunjungi hingga malam, mulai ditinggalkan. Banyak orang tua yang melarang anak-anak bermain di tempatnya. Para remaja pun hanya sekadar merokok dan pulang. Tidak ada lagi tawa, nyanyian, pernyataan cinta, atau tangis bocah yang kalah. Dia tahu sudah berakhir. Masanya sudah tidak lagi berjaya. Fungsinya sudah beralih jadi tempat buang hajat binatang dan sumber cerita horor orang-orang.

Dia tidak lagi dilirik. Cat pagarnya dibiarkan mengelupas. Bangku-bangku kayunya dibiarkan lapuk. Seluncuran, jungkat-jungkit, ayunan, dan lainnya dibiarkan terbengkalai. Bahkan toilet dibiarkan pesing.

Dia sudah tamat. Dalam waktu dekat akan dimusnahkan. Maka, pada alam dia sampaikan permintaan terkahir. Inginnya, semua yang pernah datang tidak melupakan dia yang dulu, yang masih berupa tempat tidak seberapa. Yang sering dikunjungi tanpa ada setan.

Event MingguanWhere stories live. Discover now