Tema: Sudut Pandang

6 1 2
                                    

Ipen Wiken, 03 April 2021

Tema: Sudut pandang

Majas: Metafora

Kata Kunci:
Bukan salah bunda mengandung
Penuaan dini
Es teh muda
Badai manis
Kue bedak

PseuCom
HalinManoban

*****

Mari, mari, silakan masuk. Sudah lama aku tidak kedatangan orang dari kota. Langitnya memang sering mendung, tapi jangan khawatir. Beberapa pohon sudah ditebang, jadi petir kemungkinan tidak menyambar. Perjalanan dari jalan beraspal hingga sampai ke desa kecil ini sudah pasti membuat bokong kalian peyot. Biar begitu, duduklah. Nyamankan punggung kalian dan cicipilah suguhan ini. Memang tidak seberapa, hanya es teh muda dan kue bedak. Jangan khawatir. Aku bukan bagian dari yang sering kalian gunjingkan. Ini aman. Lihat aku makan. Teksturnya memang agak keras. Entah kurang mentega atau tepungnya terlalu banyak. Nah, apa yang ingin kalian ketahui?

Jika berbicara tentang awal, yang kalian dapati hanya samar-samar. Seiring bertambahnya usia, satu per satu ingatanku keropos. Luruh begitu saja. Namun, ada beberapa yang bandel—yang justru ingin aku buang—kekeh bercokol di otakku. Ingatan itu menghantui tiap kali angin menabrak pintu dan guntur menggemuruh bersamaan air hujan yang menghantam tanah.

Malam itu aku namakan sebagai malam badai manis. Meski tinggal rintik saat beberapa orang masuk, perabot rumah kami luluh lantak. Itu karena bapakku tidak mau dibawa. Dia menghindar, berkelit semampunya. Mengambil apa pun sebisa tangannya menggapai untuk dijadikan senjata. Ada cekcok. Raungan adik bungsuku. Juga jerit ibuku yang memanggil bapak. Kabar soal “pembersihan” sudah santer menyebar. Konon, mereka yang disambangi tidak akan kembali. Untuk itu bapakku melawan sekuat tenaga, walau akhirnya dia diseret juga. Bapakku memang bukan jenis bapak yang apabila melihat anaknya jatuh akan digendong untuk menenangkan. Dia lebih sering membentak, dan doyan judi adu ayam di desa sebelah. Namun, bapakku bukan sosok yang bisa melayangkan celurit untuk membacok. Dia memang ringan tangan, tapi hanya sebatas memukul meja.

Aku kira itu memang hukuman yang harus diterima bapak jenis buruk, seperti bapakku. Harapan itu memercik untuk membayangkan bapak pulang dengan watak yang lebih baik, seperti bapak temanku. Sementara ibu dan adik-adikku menangis, aku tidak turut serta menjatuhkan air mata. Lalu, kata orang yang “konon” itu ternyata bukan sekadar kabar angin. Huru-hara tidak hanya terjadi di rumah ini. Ada beberapa rumah juga disatroni dan kami disuruh keluar saat subuh menjelang.

Kalian lihat bukit di belakang rumah kami? Dulu, kami berjajar baris di sana. Tidak kutemui bapak. Entah sudah dibawa ke mana dia. Kami yang tersisa disuruh naik ke truk. Dibawa kami ke suatu tempat. Kalian tahu? Manis yang baru aku sesap, ketika bapak akhirnya diberi ganjaran, berubah menjadi badai saat pakaianku dilucuti.

Saat itu, segala sumpah sudah berkumpul di ujung lidahku.

Aku menangis, tapi tidak ada yang menolong. Ibu dan adik-adikku berada di ruangan lain. Aku ditanyai macam-macam. Aku bilang, tidak tahu. Karena memang aku tidak tahu. Bapakku hanya seorang pengajar yang gemar minum teh muda. Aku ceritakan juga soal kecanduan bapak terhadap adu ayam. Mereka makin bertampang bengis. Mereka menanyaiku lagi. Aku memohon untuk dilepaskan atau paling tidak memakai baju. Mereka membentak dan kembali menanyai hal yang serupa. Aku sampai nyaris bersujud, bersumpah atas nama Tuhan bahkan malaikat, aku tidak tahu. Mereka tidak percaya.

Hari itu, nyaris tubuhku dicumbu.

Tidak seperti bapak yang hilang, kami dibiarkan pulang. Hanya saja, sejak kembali banyak yang berubah. Kalian lihat rumah yang di seberang rumahku? Sebelum rumah kami digerebek, ibuku berteman baik dengan pemilik rumah itu. Ibuku sering bertukar lauk atau kabar soal perlakuan suami. Setelah hari itu, pintu rumahnya tertutup. Tidak ada lagi tegur sapa. Acap kali berpapasan, dia selalu menghindar. Aku dan adik-adikku juga terkena imbas. Kami dikatai sedemikian rupa, hingga si bungsu enggan bersekolah. Kami juga dilabeli dengan “kasta” rendah, yang menghirup udara pun sudah menjadi musuh orang. Ibu melarang kami menimpuk balik, kami hanya diperbolehkan membantah. Ibuku bilang, ini tidak akan lama. Semua akan kembali seperti dulu karena kami bukan golongan itu; golongan yang diharamkan hidup.

Namun, aku sudah melahirkan anak dan anakku sudah melahirkan anak. Kalian lihat bocah yang bersandar di dekat batang pohon itu di halaman depan sana? Dia cucuku. Setiap hari, saat sore menjelang, dia angon domba-domba kami. Dia sudah mau bujang. Jadi, aku kisahkan perihal buyutnya. Dia tersenyum. Dia bilang, sekarang sudah paham. Selama ini dia bertanya-tanya, kenapa selalu dibeda-bedakan. Selalu diserukan ucapan hina akan identitasnya. Tidak pernah bisa menjadi pengurus kelas atau petugas upacara. Lalu, dia menangis. Sesenggukan dia hingga hatiku serasa diremas kuat. Di sela-sela isak tangis dia bilang, ingin jadi presiden. Dari mulai bisa baca dan hitung, dia ingin menjadi presiden. Sekarang, katanya, ingin menjadi juragan domba saja. Yang tidak perlu pelacakan nasab, kalau mau dapat uang.

Nak, dulu aku sangat ingin pergi ke luar pulau dan belajar ilmu teluh. Aku mau mereka—orang-orang yang sudah membuat keluarga dan keturunan kami kehilangan sebagian hak sebagai warga negara—tersiksa. Namun, ada hitam di atas putih yang mengikat kami. Tidak bisa kami seperti kalian yang bebas berkelana. Sampai mampus ruang gerak kami hanya di sini. Di desa kecil ini. Terlepas dari itu, perlahan aku sadar. Dan kami bisa kembali bersujud bersama dengan yang lain, meski bisik itu masih kental melingkupi kami. Kami bersyukur Tuhan masih menyertai kami dan biarlah Tuhan yang bergerak menegakkan keadilan.

Nak, apa kalian percaya kalau aku katakan kami adalah kambing hitam? Kami hanya sekumpulan orang apes yang ikut terjepret, ketika orang-orang benar ingin mengadili yang salah. Hati-hati, Nak. Hati-hati. Kita tidak tahu sedang dalam jangkauan bidik siapa dan di mana. Kalau sudah kita kena cap, seumur hidup akan dibuntuti prasangka seperti kami. Hanya melalui kabar dari mulut ke mulut, semua bisa berubah. Pandangan orang terhadap kita pun turut sesuai dengan apa yang mereka dengar.

Nak, kisah yang barusan kalian dengar, bukan untuk menuntut. Aku hanya ingin disimak oleh telinga yang lapang, pikiran yang terbuka, dan mau memahami. Biarlah begini, toh bukan salah bunda mengandung kami seperti ini. Mungkin akan terkena penuaan dini anak-cucu kami yang turut digencet, tapi kami akan dampingi mereka. Untuk paham. Untuk mengerti, bahwa ini hanya salah paham. Tuhan yang akan membeberkan semua.

Nak, kalian harus mengerti kalau banyak orang hanya melihat sampul. Untuk isi, seringnya mereka hanya gemar mendengar. Sangat sedikit mereka yang mau menelusuri lembar demi lembar dan membuat kesimpulan sendiri. Kita hidup di tengah masyarakat yang suka menyontek, meniru, dan memakai kacamata orang lain. Hati-hati, Nak. Beda versi akan beda cerita. Cakupannya juga berbeda. Buatlah kisah yang baik agar orang-orang bisa menilai dan membisiki dari poin yang baik pula.

Nah, sekarang sudah waktunya makan. Mari, jangan sungkan untuk mengunyah. Ini semua halal karena azan juga seruan kami untuk beribadah. Kami sama dengan kalian.

Event MingguanWhere stories live. Discover now