Bab 3

1.6K 80 11
                                    

"Sandi, buat sebuah kalimat dalam bentuk present tense!" kataku pada salah satu murid.

"I Love you, Miss Selena." Anak laki-laki berusia enam belas tahun itu memjawab pertanyaanku.

"Ciee...!"

Teman-teman Sandi bersorak menggodaku yang sedang berdiri di muka kelas sambil melipat kedua tangan di dada.

Menyebalkan? Tidak. Bagiku tak masalah, selama jawaban yang diberikan benar. Itu juga menjadi tanda bahwa Sandi dan teman-temannya memahami materi pelajaran dengan baik. Jadi, biarkan saja.

"Rey, tolong buat kalimat menggunakan bentuk past tense!" kataku kepada murid yang lain.

"I had a dream about you last night (Aku bermimpi tentang anda tadi malam), Miss." Rey menyudahi jawabannya dengan sebuah senyum.

"Ciee...!"

"Uhuy!"

"Witwiw...!"

Anak-anak remaja itu semakin riuh.

Begitulah situasi kelas kami siang hari ini. sebenarnya, tidak hanya hari ini. Hampir setiap hari belajar murid-muridku melakukan hal seperti tadi. Bermain-main dengan materi pelajaran yang aku berikan.

Sejak tiba di Indonesia beberapa bulan lalu, aku mengambil pekerjaan sebagai guru. Sahabatku yang bernama Ayda, memiliki sebuah lembaga kursus belajar bahasa asing. Aku ditawari mengajar bahasa Inggris di lembaga miliknya sudah sejak lama, saat kami masih sama-sama di Australia.

"Tenang, Sel! Kalau kamu mau tinggal di Indonesia, aku pasti sediain tempat tinggal buat kamu. Gratis! Kalau kamu mau kerja juga boleh, ngajar bahasa Inggris di lembaga kursus yang aku buat," kata Ayda waktu itu.

Saat akhirnya aku memutuskan untuk datang ke Indonesia, aku mengabari Ayda. Dia mencarikanku tempat tinggal, sebuah rumah kos sederhana yang berada tidak jauh dari lokasi lembaga kursus bahasa itu dengan biaya sewa terjangkau. Ayda membantuku membayar biaya sewa rumah lima bulan pertama, dia menyarankanku untuk hanya menghuni tempat itu seorang diri saja.

"Biar kamu nyaman aja, takutnya, kalau tinggal sama orang lain kamu jadi gak bebas mau ngapa-ngapain. Tenang aja, selama kamu belum ada pekerjaan tetap, aku yang akan membayar sewanya," kata Ayda. Aku sangat berterima kasih padanya.

Dan, tak hanya itu, sesuai janjinya, Aida juga memberiku pekerjaan, mengajar di salah satu cabang lembaga kursus bahasa yang ia dirikan bersama keluarganya. Aku mendapat jatah mengajar empat hari dalam seminggu. Dimulai dari jam sepuluh sampai jam dua belas siang, lalu istirahat, dan dilanjutkan lagi pukul satu sampai pukul tiga sore.

Murid-muridku berasal dari siswa-siswi tingkat SMP dan SMA. Salah satunya adalah kelas yang dihuni Sandi dan Roy siang hari ini.

"Oke Guys! Kelas sudah berakhir, see you next week! Okay?!"

"Okay, Miss!"Serentak murid-muridku menjawab.

"Apakah ada memiliki pertanyaan sebelum kami mengakhiri kelas ini untuk hari ini?"

Kelima belas orang remaja laki-laki dan perempuan itu tidak ada satupun yang menjawab pertanyaanku.

"Okay, See you next week!"

Lantas, kami keluar dari ruang kelas secara bergantian.

.

.

.


"Miss! Hari ini mau ke kafe lagi?" Sandi bertanya padaku saat kami di lobby.

"Yes, of course. Itu pekerjaan saya."

"Asyik ...! Aku mau datang lagi ah!"

Aku menghela nafas. "Boleh. Tapi, jangan rebut ya, please!" kataku memohon.

SelenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang