Chapter I : Hello Goodbye

151 26 0
                                    

Lucas melirik jam di tangan kirinya. Sudah pukul sepuluh malam.

Ia berjalan pelan setelah memarkirkan mobil. Berjalan melintasi papan bertuliskan Rainbow Gleam Bar dan masuk ke ruangan yang tak pernah sepi itu. Sebenarnya sudah dua minggu terakhir ia ingin berkunjung ke bar langganannya, tapi pekerjaan di kantor yang membludak memaksa ia untuk terus menunda niatnya itu.

Rainbow Gleam Bar adalah sebuah bar elit khusus kaum LGBT—meski didominasi oleh lelaki. Perempuan kadang malu-malu berkunjung ke tempat semacam itu mengingat siapa tahu mereka bertemu dengan orang tak terduga—kakaknya misal, yang kemudian sama-sama tahu bahwa ternyata mereka sama-sama kelabu. Oke, ini hanya cerita sekilas yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Sudah lama ini Lucas mengakui hasrat seksualnya yang tak biasa, barangkali sekitar delapan-sembilan tahun lalu. Mula-mula ia mengelak, menepis kuat-kuat dan berusaha menjadi normal. Ia berpacaran dengan adik kelas yang manis dan mungil, hubungannya bahkan berjalan setengah tahun. Tapi Lucas nyatanya tetap tak mampu menampik kalau ia lebih tertarik pada teman laki-lakinya. Hingga kemudian ia merasa hubungannya dengan gadis mungil itu tidak berjalan normal—ia merasa berpacaran dengan perempuan tidaklah normal.

Dari situlah konflik normal dan ketidak-normalan saling beradu dalam friksi. Lucas sempat terpuruk. Dan semakin terpuruk setelah ia merasa jijik pada gadis-gadis yang setia mengekorinya di SMA dulu. Di tahun-tahun suram itu, ia mempertanyakan eksistensinya sendiri. Lucas mulai merokok dan yang lebih buruk adalah ia pernah mengonsumsi obat-obatan sampai overdosis dan dilarikan ke rumah sakit. Marga keluarga Wong tercemar gara-gara ulahnya.

Ia dipaksa pindah ke Korea dengan alibi menenangkan diri—meski ia tahu ia sebenarnya disembunyikan, dibuang, apapun. Nama Wong harus bersih. Tak peduli walau harus membuang darah daging sendiri. Lucas tidak marah. Ia mengerti dan mencoba memahami bagaimana seandainya apabila ia berada di posisi kedua orangtuanya. Meski kadang—lebih sering—ia berpikir bagaimana seandainya orangtuanya berada di posisinya.

Lucas mengikuti saran kakaknya. Ia benar-benar menenangkan diri di Korea, kontradiksi dengan kota besar yang tak pernah tenang itu. Ia mencari suasana baru, menemukan teman-teman baru dan hidup damai seolah-olah tak pernah terlibat dengan narkoba serta hal-hal negatif lainnya. Sampai sebuah pertanyaan lama muncul kembali. Ia mempertanyakan eksistensinya.

Untuk apa ia bernapas selama ini?

Pertanyaan itu ia kubur dalam-dalam. Lucas tidak mau hidup dibebani dengan pertanyaan semacam itu. Ia harus menikmati hidup. Harus. Itu adalah kewajiban mutlak. Sebab, rantai Wong sudah tak lagi membelenggunya. Lucas mau hidup sebebas-bebasnya dan memproklamirkan diri sebagai manifestasi angin; berhembus membelai dedaunan, ranting pohon, kelopak bunga hingga rumput ilalang.

Sampai suatu hari di tahun pertama kuliahnya, ia memutuskan untuk menggunting friksi antara normal dan ketidak-normalan. Rainbow Gleam Bar adalah bar LGBT pertama yang ia kunjungi—ia berterima kasih pada koneksi internet dan oh, tentu saja, keberaniannya. Lucas tidak mau dikurung dalam adat kebiasaan orang-orang yang memisahkan normal dan tidak normal. Dengan mengikuti jalur orang-orang umum—ia lebih senang menyebut begitu dan menyebut dirinya sendiri minor—ia belum tentu bisa bahagia. Tapi jika ia mengikuti jalur hidupnya sendiri, bahagia atau tidak itu urusannya karena ia yang memilih.

Sekarang, Lucas merasa ia benar-benar berhasil menjadi angin.

Rainbow Gleam Bar tidak banyak berubah. Dekorasi dan tata letaknya masih sama seperti tahun-tahun lalu. Barangkali yang membedakan adalah banyaknya pengunjung yang datang dan stripper baru. Kali ini ada penari perempuan.

Pada langkah kelima tatkala ia memasuki bar, seorang teman lama di balik konter bar melambaikan tangan. Lucas acuh tak acuh tapi ia tetap berjalan ke arah teman lamanya itu.

Jumantara Musim PanasWhere stories live. Discover now