Chapter II : Welcome Back, Memories

73 23 0
                                    

Hendery terjaga di tengah malam. Tubuh kurusnya ditutupi selimut tebal bermotif bendera Inggris. Ia mencoba duduk. Meringis setelahnya, sadar ternyata tubuhnya belum baik-baik saja.

Ponsel pintar di atas meja nakas berkelap-kelip. Ia meraihnya. Ada tiga pesan masuk, salah satunya dari Jaehyun. Katanya semoga lekas sembuh. Hendery menghela napas dan merasakan udara yang berembus dari hidungnya terasa panas. Ia terbatuk pelan lalu mengambil air mineral di atas meja. Hendery meneguknya. Ia menggigil dan kembali berbaring.

Langit-langit kamar yang putih polos menjadi obyek pandangan. Yongqin pernah menawarinya menghiasi langit-langit itu dengan gambar awan-awan tapi Hendery menolak dengan alasan terlalu kekanakan. Ah, ia jadi rindu pada kakaknya yang baik dan kadang jahil itu.

Arah pandangannya bergeser menuju lukisan di samping pintu. Lukisan yang ia buat sendiri sembari membayangkan kekacauan orangtuanya. Garis biru gelap membentuk pola lingkaran besar di tengah-tengah, serupa gumpalan awan hitam yang siap mengamuk dan memberi hujan badai. Untuk latar ia gunakan warna biru tua, dihiasi bercak-bercak cat merah semerah darah. Hendery merenung, memikirkan di mana letak kehidupan dari lukisan itu. Segalanya terlihat mati, tanpa harapan.

Tapi seseorang berkata menyukai lukisan itu karena lebih hidup dari pelukisnya sendiri. Wong Lucas. Hendery tersenyum tipis lalu memejamkan mata.

Ia melihat kebersamaan yang menyenangkan di masa lalu. Delapan-sembilan tahun lalu tatkala Lucas berkata menyukai lukisannya.

'Lucas ... kenapa kau menyukai lukisanku?'

Hendery bertanya demikian karena jujur saja, ia merasa tak ada yang indah pada lukisannya. Di sana hanya terdapat kesuraman dan gelap. Serupa ruang-ruang di dalam hatinya. Tapi, mendengar alasan Lucas, Hendery tidak tahan untuk tak tertawa. Ia tertawa. Merasa lucu. Kemudian tersadar, sudah lama sekali sejak ia tertawa seperti itu. Tiba-tiba ia merasakan hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Hendery merasa bahagia dengan alasan yang sama sekali tidak ia tahu.

Setiap hari mereka menghabiskan waktu di ruang kosong—ketika istirahat maupun saat jam pelajaran tidak ada. Mula-mula Hendery merasa tidak tenang. Diperhatikan saat sedang melukis membuatnya sedikit gugup. Akan tetapi, semakin lama, ia semakin terbiasa. Tanpa ada Lucas rasanya melukis seperti tidak melukis.

Mereka hanya diam, membiarkan keheningan meraja namun hangat memenuhi ruang-ruang di hati mereka. Tak perlu banyak bicara, mereka sudah merasa nyaman seperti itu. Kadang Lucas memberi komentar tentang lukisannya dan banyak hal lain seperti meminta penjelasan mengapa Hendery memiliki kulit seputih alabaster, mengenai ukuran sepatu hingga perkiraan cuaca. Hendery merasa senang mengobrol dengan Lucas, begitu pula sebaliknya.

Hingga suatu kejadian membuat hubungan keduanya hancur.

Di suatu siang ketika cuaca cerah pada musim panas, mereka berada di ruang kosong seperti biasa. Hendery melukis dan Lucas memperhatikan. Tidak ada yang aneh. Mereka bicara mengenai hal-hal sepele—meski didominasi oleh keheningan yang hangat. Sampai Lucas bertanya mengenai hal yang bagi Hendery terdengar aneh.

'Hendery, menurutmu aku bagaimana?'

Saat itu Hendery tengah menggores warna merah pekat di tengah lukisannya. Ia biasa menjawab tanpa menoleh, tapi kali ini ia menoleh dan bingung harus menjawab apa.

'Kau ... hmm, baik dan menyenangkan?' Hendery bahkan menekankan tanda tanya di ujung kalimatnya. Ia sendiri tidak tahu. Lucas ya Lucas.

Tapi ia tahu Lucas tidak puas mendengar jawabannya.

'Lucas, menurutku kau itu pintar walaupun agak aneh—maksudku, kau sudi mengobrol dengan orang aneh sepertiku. Tapi yang terpenting dari itu semua adalah, kau membuatku merasa nyaman.'

Jumantara Musim PanasWhere stories live. Discover now