XXIV

658 117 9
                                    

Malam itu akhirnya Seta bisa tidur tenang di kamar Vin. Walau akhirnya Arsus juga yang turun tangan menengahi Quint juga Vin.

Tapi menjelang tengah malam. Seta kembali menggigil. Vin yang terkejut, mencoba membangunkannya. Namun, nihil. Seta tak bereaksi apapun. Meski Vin berteriak.

Sepersekian detik berikutnya. Tubuh Seta menyentak, kepalanya mendongak ke atas dengan pandangan kosong. Tak butuh waktu lama untuk Vin memanggil Wyns. Namun, tak di sangka, semua Kakaknya bergegas kesana.

Pandangan Vin pula tertuju pada Faust yang siap dengan spiriobrydnya.

Prang!

Bunyi pecah kaca cukup keras. Lalu berikutnya, Mea yang berubah menjadi asap, akibat terkena anak panah berenergi milik Faust itu.

"Untuk sementara, Jolyon tak akan di ganggunya." Celetuk Faust.

"Sudah ku duga, makhluk itu akan datang lagi." Sambung Wyns seraya memantrai Seta, sampai keluar sinar putih di telapak tangan yang menempel dengan kepala Seta. Lalu dalam sekejap, Seta kembali tidur.

"Maaf, aku lupa mengatakan ini. Aku menerima laporan, ada wabah penyakit, di desa paling utara Sumero Suno. Dan mereka tidak tahu itu penyakit apa. Aku belum menerima laporan selanjutnya." Noe mengambil alih pembicaraan.

"Apa mereka dapat menanganinya?" Kentara sekali, raut cemas Arsus.

"Mereka belum bisa menanganinya. Karena menular, warga yang masih sehat, di ungsikan. Demi keamanan."

"Penyakit macam apa Noe?" Tanya Wyns.

"Aku juga tidak tahu. Mereka mengatakan, pertama timbul ruam kemerahan, lalu panas pada tubuh, selanjutnya ruam itu perlahan kering permukaannya, tapi mengelupas membawa daging di bawahnya. Dan itu terjadi hanya dalam dua malam." Noe bahkan ngeri sendiri menceritakannya, merinding walau belum melihatnya.

Melanjutkan, "Mereka belum tahu bagaimana bisa menyebar. Untuk sementara kontak fisik adalah yang paling memungkinkan. Karena perlahan namun pasti, satu persatu di dalam rumah itu terkena."

"Aku akan kesana." Arsus menyela.

"Tidak Kak, itu beresiko." Sergah Quint.

"Aku hanya ingin melihat keadaan Sumero Suno. Bagaimanapun, kita bersaudara. Dan saudara tak akan meninggalkan saudara lainnya." Arsus mengakhiri pembicaraan. Tidak ada yang bereaksi sampai si paling tua pergi dari sana. Bersiap untuk meninggalkan Entrella saat fajar datang nanti.

"Kak, aku akan mengawal." Noe bicara di belakang Arsus. Dan Kakaknya itu berhenti.

"Lalu siapa yang akan menjaga Entrella? Kau ingat Noe, jika terjadi kegentingan seperti ini, salah satu dari kitalah yang bisa pergi. Lalu ketika sesuatu mengancam jiwaku, masih ada dirimu yang bisa memimpin negeri."

"Tapi Kak. Aku hanya memastikan kalau kau baik-baik saja disana." Dalam hati, Noe takut. Bagaimana kalau Kakaknya tidak kembali? Bagaimana kalau Kakaknya terkena wabah juga disana? Tak ada jaminan, wabah itu tidak sampai istana Sumero Suno. Mungkin ada yang membawanya di badan seseorang. Noe terlalu cemas, benar-benar cemas.

"Noe, jaga saja mereka. Percaya padaku, aku akan segera kembali."

'''

"Apa ini karena aku?"

"Jolyon."

"Kenapa tidak membiarkanku mati saja?"

"Kau pikir dengan kau mati, semua berakhir begitu?" Wyns paham sekarang, Quint dan Seta punya satu jalur pendakian yang sama. Lihat saja bagaimana pertanyaan mereka, seolah mati adalah jawaban.

"Jolyon, kemarilah." Noe mengajak Seta dari lorong tempat Wyns dan dirinya berbicara. "Wyns sedang banyak pikiran. Maaf kalau ucapannya terdengar kasar. Jangan bicara padanya dulu."

"Kau tahu? Jangan bicara soal kematian untuk saat ini. Tidak ada yang boleh mati. Tak terkecuali, kau."

Noe mengambil napas dalam. "Bukan perkara mudah masalah yang kita hadapi sekarang. Sangat rumit untuk di jelaskan. Aku saja butuh beberapa waktu agar mengerti. Jadi sementara ini, kau santaikan saja tubuhmu sejenak. Kembalilah sehat, dan jangan terluka lagi, ya?" Noe mengelus pucuk kepala Seta pelan.

Ah! Seandainya, ada yang seperti ini di kehidupan nyata miliknya. Mungkin, Seta akan lebih bahagia. Bolehkah dia berharap ada yang mencarinya? Namun, setiap kali memikirkan itu. Seta malah sakit hati, karena faktanya, tak ada siapapun yang akan memanggil dirinya dengan sebutan Adik ataupun anak.

'''

Kakinya pincang, tangannya masih saja susah bergerak. Setelah ini, apa?

"Kau mau kemana? Aku kesulitan mengawasi dua orang sekaligus. Kau dan Kakak suka sekali menghilang." Seta nyengir tak berdosa.

"Aku cuma jalan-jalan. Bosan di kamar terus." Adunya pada Vin.

"Kau masih di larang keluar, kau tahu?"

"Iya-iya, aku tahu."

"Tuan," Sebuah suara menginterupsi mereka berdua. "Di halaman ada beberapa pencari suaka."

Pencari suaka? Semacam pengungsi begitu? Seta mengekori Vin, yang jalannya sangat cepat. Seta kewalahan, makanya dia sampai lompat-lompat dengan satu kaki.

Menemui Quint, memberitahunya perihal apa yang tadi pengawal sampaikan. Lalu mereka bersama menuju ke halaman, menemui para pencari suaka. Seta hanya mengintip di balik pagar penyangga kastil. Ada wanita di depan sana, menatapnya ngeri. Dia seperti tahu, Seta tengah memandangnya.

Berbicara dengan senyum yang selalu ada pada wajahnya, Quint bahkan memegang mereka tanpa jijik. Walaupun kumal, dan kotor. Sungguh baik, atau hanya pencitraan? Bukankah seseorang dengan pangkat tinggi biasanya begitu? Kau berpikir apa Seta? Jahat sekali pada seseorang yang sudah menolongmu juga.

"Kalian bekerjalah dengan istana. Kalian bisa tinggal disini." Ucap Quint, di akhiri dengan kegembiraan para gelandangan, dan menuntun mereka ke paviliun para dayang.

"Mereka itu semacam pengemis?" Cecar Seta, setelah keluar dari sembunyinya.

"Mereka hanya tidak punya rumah. Tinggal di jalanan. Dan Entrella tak bisa membiarkan itu terjadi." Seta manggut-manggut. "Nanti mereka juga akan diberi lahan, supaya kalau mereka punya cukup uang, bisa membangun rumah mereka sendiri. Lalu mensejahterakan diri sendiri."

Wah! Kalau di seluruh dunia begini, kemiskinan pasti mendadak langka. Benar begitu?

Lalu, Seta kembali memandang dirinya. Kenapa Seta tidak di suruh menjadi pekerja istana saat pertama kali di temukan?

"Kak,"

"Ya?"

"Tidak, tidak jadi."

"Kau aneh. Kenapa? Kau ingin menanyakan sesuatu?"

Seta nampak bimbang. "Kenapa aku tidak seperti mereka?"

"Em," Vin juga agak bingung bagaimana menjawab pertanyaan satu itu.

"Apa karena kedatanganku yang tidak biasa?" Masih dalam keterdiaman Vin. "Apa setelah ini masih akan terjadi sesuatu yang buruk?"

"Diam Jolyon. Memang kenapa kalau kau hadir dengan perihal yang tak biasa? Dan tidak akan terjadi apa-apa."

"Aku cuma punya firasat, Kak."

Tidak ada yang tahu pasti. Vin juga khawatir sebenarnya. Apalagi ada wabah jauh di sana. Dan mungkin bisa mendekat sewaktu-waktu. Vin menatap Seta tajam namun tenang. "Istirahatlah, kau pasti lelah. Jaga kesehatanmu."

"Kak,"

"Jangan membantah." []

Hoiland
Wonosobo, 2021, 12 April.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Where stories live. Discover now