[17] Takdir

39 24 1
                                    

Aku terus terisak-isak di pelukan ibunda, sepertinya sudah seharian aku menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terus terisak-isak di pelukan ibunda, sepertinya sudah seharian aku menangis. Aku tidak bisa membayangkan jika Desya berlaku jahat padaku, dia sungguh berbeda.

Aku lebih suka saat ia menyebalkan, aku tidak mau ia berubah menjadi menyeramkan. Benar-benar tidak mau, tapi kata ibunda, semuanya akan terjadi. Ia juga melihatnya, dan aku hanya bisa berdiam diri mengikuti alur takdir.

Jika aku melawannya, dan merubah alur, maka semuanya akan berantakan, atau bahkan aku akan terluka sangat parah. Yang aku takuti, dapat melukai orang lain.

"Ibunda, apakah benar-benar tidak bisa diubah?" Aku mendongak, melihat mata hazel milik ibunda yang sangat indah.

"Tidak bisa, Sayang. Kita hanya bisa pasrah dan berdiam diri." Ibunda mengusap pelan kepalaku, menenangkan hatiku yang sudah bergemuruh bagai sedang disambar banyak petir.

"Apa Ibunda pernah mencobanya?" Aku lagi-lagi bertanya, menaruh harapan yang sangat besar, bisa saja aku akan mengubahnya.

"Pernah, tapi ... itu membuat semuanya semakin buruk." Aku menghela napas, merasa tidak ada lagi harapan.

"Apa itu?"

"Hanya Ibunda yang boleh tahu, Sayang." Aku kembali memeluknya, dan menangis sekencang-kencangnya.

"Eh, kenapa Zelin menangis?" Suara itu, suara yang aku hafal siapa pemiliknya. Aku menoleh, mendapati Desya menatapku heran.

"Kamu ... dari mana saja?" tanyaku padanya, dan sangat khawatir saat melihat ada luka gores tepat di pipinya.

"Dari Kerajaan Kegelapan." Ia mendekatiku, dan menertawakanku. "Sudah besar, kok, nangis, sih?" Aku memukul kepalanya, ia begitu menyebalkan.

Tapi, aku senang.

"Kenapa wajahmu luka?" Ibunda bertanya dan hampir saja memegang luka gores itu jika Desya tak buru-buru menjauhinya.

"Aku hanya tergores pedangku sedikit tadi saat terbang, karena pedang ini sangat panjang, aku membencinya." Aku tahu ia berbohong, tidak mungkin seperti itu. Biasanya juga ia tidak terluka oleh pedang itu.

☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆☆゚.*・。゚☆

Lagi-lagi sore datang, membuatku harus berdiam diri di dalam kamar, dan lagi-lagi Desya menghilang entah kemana. Tidak ada yang mengetahuinya, dan aku takut jika mimpiku itu akan menjadi kenyataan untuk hari ini.

Ketujuh kilat berjaga di depan pintu kamarku, mereka seperti tengah bercanda, aku jadi ingin ikut bergabung dengan mereka semua. Tapi sepertinya tidak, karena takut mengganggu mereka.

Suara pintu terbuka, dan aku menoleh ke arah pintu itu. Ketujuh kilat datang, masih dengan tawanya, mereka menghampiriku. Duduk di kasurku, seperti biasa, apalagi Haechan yang seenaknya.

"Sepertinya menjagamu di luar bukanlah solusi yang terbaik." Haechan merebahkan dirinya di kasur, dengan selimut menutupi badannya.

"Bisa saja Desya itu akan mengajak Putri dari sini, bukan luar." Yang lain mengangguk, sedangkan aku hanya diam.

Sebenarnya aku agak senang saat mereka mau menemaniku, tapi kesal juga karena mereka tetap ingin menjagaku, padahal aku tidak apa-apa.

Mereka terus tertawa, sampai saat ini—dua jam lamanya. Aku tidak merasakan kantuk sama sekali, takut mimpi buruk kembali menghampiri.

Sudah sedari tadi Renjun mengeluarkan emosinya dengan pura-pura akan membunuh Haechan, itu sedikit membuatku terhibur. Tapi, tetap saja rasa takut selalu ada di dalam hatiku.

Aku merasakan tubuh yang berkeringat, malam ini udaranya lumayan agak panas, membuatku terus saja mengeluh karena gerah.

Ketujuh kilat sudah berganti posisi menjadi terlentang di lantai yang dingin, sedangkan aku tidak boleh mengikuti mereka, padahal aku juga merasakan panasnya udara.

Aku turun, secara diam-diam menuju arah kulkas dekat kamar mandi kamarku. Baru seteguk aku meminum air, tiba-tiba muncul Desya. Ia sama persis dengan apa yang berada di mimpiku.

Desya mendekatiku dengan wajah seolah menantangku untuk melawannya. Ia berkata, "Ikutlah denganku, Zelin."

Aku menggeleng, tidak mau. Aku takut sesuatu yang menakutkan akan terjadi. Rasanya ini benar-benar sama, dan aku mengikuti apa yang aku rasakan di mimpi pada saat itu.

"Aku akan membuatmu untuk ikut denganku." Ia mengeluarkan pedang, dan tiba-tiba angin berembus sangat kencang. Seolah-olah ia tengah marah padaku. Pedangnya ia dekatkan ke arahku. "Ikut aku, atau aku penggal kepalamu?"

"Aku tidak akan ikut denganmu, Desya!"

Untuk saat ini, kumohon ketujuh kilat itu mendatangiku, dan menyelamatkanku. Aku takut, setelah ini akan ada kejadian besar.

Pedang Desya siap menebas kepalaku, tapi sebelum itu semua terjadi, ketujuh kilat sudah menjagaku, dan berada di sekelilingku.

Aku merasakan akan ada hal baik setelah ini, semuanya tidak akan ada yang terluka. Semoga saja.

Haechan maju ke depan, menghadapi Desya yang sudah bersiap-siap di posisi menyerangnya. Aku melihat sedikit keanehan pada diri Desya. Ia tidak mungkin seperti ini. Apa mungkin, dia sedang dikendalikan?

Tapi oleh siapa ia dikendalikan?

“Apakah ia tengah dikendalikan?” Aku berbisik pada Renjun yang ada di sebelahku, karena tidak memungkinkan untukku mengeraskan suara.

“Sepertinya.” Renjun menjawab dengan bisikan juga, membuatku sedikit mengikis jarak.

Haechan terlihat marah, dari sorot matanya ia sangat-sangat siap untuk menebas kepala Desya. Tapi, jika ia benar-benar melakukannya, aku akan melarang. Desya masih saudaraku, dan temanku.

"Kenapa kamu jadi seperti ini, Desya?" Haechan bertanya dengan tampang beraninya, ia mulai mendekati Desya satu langkah.

"Apa maksudmu?" Desya menyahuti, dan mundur seiring Haechan yang berjalan maju.

"Kamu pasti sedang dikendalikan, Desya, sadarlah!" Aku ikut berteriak dari belakang, walau sepertinya tidak perlu berteriak pun masih bisa terdengar.

Aku melihat Desya tersenyum meremehkan ke arahku, lalu setelahnya semua terjadi sangat cepat, sampai-sampai aku tidak sadar jika Desya ternyata sudah menusuk perut Renjun.

Kilat yang lain mendadak menoleh ke arah Renjun, dan mengerumuni Renjun untuk diberi bantuan. Pada akhirnya, semua tidak sadar jika aku dibawa lari oleh Desya, begitu cepat.

Mungkin memang ini takdir yang baik.

Mungkin memang ini takdir yang baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Real Dream [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang