12 ; Serius?

293 69 6
                                    

Naras

Tempat ini bisa dibilang tempat keramat untuk saya, waktu itu saat saya lagi ketemu Dewa di sini Sean dan Jean jadi korban tabrak lari di jalanan besar depan pohon sana dan saya sama Dewa yang bawa ke rumah sakit terdekat. Tempat ini juga rasanya jadi tempat yang akan saya ingat seumur hidup karena mulai dari saat ini baik saya dan Dewa akan memulai sebuah awal baru untuk masa depan yang lebih baik. Kedengarannya seperti slogan partai politik tapi memang itu motto kami saat ini.

Sean dan Jean, dua bocah misterius yang sampai saat ini saya gak tahu di mana tempat tinggal mereka dan seperti apa rupa orangtua yang buat mereka pergi dari rumah karena kecewa.

"Kok mereka dibawa segala sih?" Tanya Dewa di sela-sela waktu luang sebelum makanan tiba. Tangannya ia lipat di depan dada sambil menunjukkan bahwa dia saat ini tidak setuju dengan keputusan saya walau tidak serius.

"Biarin, kasian laper." Kata saya. Dewa mendecakkan lidahnya lalu menatap mereka berdua tajam. Seingat saya semalam Jean bilang kalau Sean sama Dewa itu kurang akur tapi kelihatannya emang iya.

"Makasih orang mah, mas, makasih udah dibantuin."

"Saya g-" Ucapannya terhenti lalu matanya menatap ke arah saya.

Gemas, kata yang cocok disematkan ke mereka sekarang.

"Oke, makasih."

Setelah itu kami berbincang tentang berbagai hal, ngeledek Dewa sama Sean yang masih sering berdebat di tempat kayak sekarang. Kita berempat terbilang udah delat untuk sekarang, dibanding orang asing mereka berdua kayak keluarga untuk saya. Entahlah rasanya saya ikut sakit setiap tahu apa yang mereka alami di rumah dan gak mau mereka balik ke orangtua mereka. Kalau Dewa bilang saya egois kalau mau terus mereka di sini.

Sebagai orangtua mereka pasti nyariin sampai bingung kemana anaknya yang ternyata ada di Jogja. Apalagi ibu mereka, saya yakin ibunya si kembar pasti sedih waktu tahu anak-anaknya kabur dari rumah dan saya juga yakin walau marah pasti si kembar juga kangen sama orangtua mereka. Saya yakin.

"Kalian berdua udah niat untuk balik ke Jakarta? Saya gak maksud ngusir loh, saya nanya begini karena saya tahu orangtua kalian di sana pasti khawatir. Kalau mereka sampai sakit kan kasihan juga."

Mereka berdua saling tatap satu sama lain dan menunduk. Sedangkan Dewa malah lihat saya sambil mengisyaratkan untuk diam dam biar dia yang lanjutin. "Mami sama papi pasti nyari, tapi apa pas pulang nanti keadaan membaik? Menurut saya enggak." Sekarang Jean buka suara. Kelihatannya sesuai dugaan dia kangen orangtuanya tapi dia gak mau lihat orangtuanya pisah.

Mereka berdua mungkin kelihatan biasa aja, tapi anak manapun yang ngelakuin kesalahan sama orangtuanya pasti akan merasa bersalah dan yang jauh sama orangtuanya pasti mereka kangen. Itu yang Jean sama Sean rasain sekarang.

"Perceraian itu gak semuanya berakhir buruk, malah ada orangtua yang setelah cerai malah lebih akur dan ngasih perhatian lebih ke anak-anaknya. Saya sering lihat itu di klinik."

"Maaf mbak," Kata mereka bersamaan. Gimanapun juga sebesar apapun mereka masih anak-anak yang akan lemah kalau bahas soal orangtuanya. Saya pun juga begitu.

Waktu satu hari benar-benar bisa merubah banyak hal. Buktinya Dewa saat ini benar-benar menepati kata-katanya untuk coba terima saya seutuhnya.

Saya nggak pernah bisa memperkirakan bagaimana jalannya dunia termasuk pola pikir Dewa saat ini. Saya tahu manusia butuh proses untuk merubah diri tapi Dewa...

Dia bahkan nggak perlu waktu satu hari satu malam untuk berubah menjadi sosok yang santai dan lembut dengan saya. Seorang Dewangga Bagaskara aslinya memang orang yang lembut dan hangat, tapi lagi-lagi saya dibuat terkejut olehnya karena kehangatan itu bisa ia berikan kembali kepada saya walau tidak seutuhnya sama seperti beberapa tahun yang lalu sebelum kesalahpahaman terjadi di antara kami.

What Kind of Future ✔Where stories live. Discover now