11. Titik Jenuh

198 28 19
                                    

Tentang Ghava, segala ucapnya adalah rasa, adalah fakta tanpa rekayasa. Namun ia tau, tak semua rasa harus diungkap sepenuhnya. Biarlah sebagian menjadi rahasia. Apalagi tentang luka, Ghava lebih suka jadi pendusta. Bukan tentang memutar balik fakta, tapi memilih menyimpan sendiri sebagai rahasia.

Bukan karena Ghavi tidak peka. Nyatanya, Ghava selalu menolak untuk berbagi luka. Memilih sunyinya Ghavi untuk menggemakan tawa. Jika ditanya pun, Ghava hanya akan katakan bahwa ia tidak apa-apa.

Hening itu masih berlanjut tanpa titik penghentian. Sedari Ghavi masuk kamar ini tanpa nada sambutan yang saudaranya celotehkan, Ghavi sadar, ada rahasia yang belum ingin Ghava ungkapkan.

Ghavi ingin tau, tapi diamnya Ghava terlalu ambigu. Seolah tiada lagi Ghava yang dulu. Ghava kini menetap dalam bisu. Sementara Ghavi terjebak dalam riuh interpretasi semu. Mau membuka percakapan pun ragu. Mungkin Ghava tidak ingin diganggu.

"GHAVA!"

Nada tinggi itu menarik paksa mereka berdua yang sejak tadi tenggelam dalam sepi. Menyembul ke permukaan dunia nyata dengan degup jantung tanpa melodi. Apalagi saat wujud Rendi membuka pintu kamar dengan penuh emosi.

"Tadi Ayah dapet telepon dari Pak Adit. Nilai ulangan kamu beberapa hari lalu, bener-bener bikin malu, Ghava. Lama-lama kamu kayak anak itu ya, bodoh dan nggak berguna."

Ghavi hanya diam saat tatap ayahnya menunjuknya. Tidak masalah jika ia dianggap bodoh dan tidak berguna, tapi Ghavi tidak suka jika gelar bodohnya diberikan kepada Ghava.

Adalah sakit jika orang yang kita sayangi dianggap rendah seperti kita.
(Ghavi)

"Tapi kan Ghava udah belajar rajin, Yah. Ghava juga nggak tau kenapa nilainya bisa jelek gitu," tegas Ghava yakin.

"Mana ada belajar tapi nilainya jelek. Kamu bisanya bikin malu aja. Dulu nilai Ayah selalu bagus loh, nggak kayak gini."

Mata Ghava kini memerah. Menahan tangis, juga amarah. Seketika ia berdiri menghadap sang ayah, mengungkapkan dengan jelas bahwa ia sudah lelah. Membebaskan hati dari jenuh yang telah lama menempati hati sebagai rumah.

"Ghava bukan Ayah. Ghava juga capek dituntut sempurna terus, Yah. Ghava juga manusia. Ghava tersiksa kalo suruh belajar terus. Ayah mau siksa Ghava biar mati?"

'Plak'.

Ghavi yang terkejut langsung bangkit dan memegang pundak kembarannya. Namun, Ghava menepisnya. Ghavi pun kembali diam, memperhatikan Ghava dengan segala yang dilakukan.

"Ayah nampar Ghava? Sakit ternyata. Merah nih," ucap Ghava sambil menunjuk pipi kirinya.

Tatap nyalang itu kini berlapis cairan. Rendi yang melihatnya baru sadar akan apa yang ia lakukan. Sementara, Ghavi diam tanpa pergerakan.

"Ayah nampar Ghava. Ayah nggak sayang lagi sama Ghava. Nggak, Ayah emang nggak pernah sayang sama Ghava. Ghava capek, Yah. Pengen cepet mati aja daripada terus-terusan Ayah siksa gini."

Air matanya sudah merebas cukup deras. Sabarnya kehabisan batas. Buku-buku di mejanya ia lempar secara bebas. Ghava benar-benar muak. Amarahnya memuncak, dan bom waktu dalam tubuhnya telah meledak.

"GHAVA!"

"KENAPA? Ghava benci sama Ayah!" teriak Ghava.

Vas bunga pun tanpa ragu ia jadikan pelampiasan. Ghava lemparkan ke arah sang ayah, membentur lantai hingga pecah. Serpihan kaca itu menyebar ke berbagai arah. Mengenai kaki Rendi hingga tercipta bercak darah.

"Va, udah, berhenti," ucap Ghavi lembut.

"Diem lo!"

Ghava meraih salah satu serpihan. Mempersiapkan tangan kirinya, lalu menggoresnya dengan pecahan bahan kaca yang ia pegang. Terciptalah sebuah garis merah berarah diagonal panjang. Tak hanya sekali, melainkan diulang-ulang.

Separuh JiwaWhere stories live. Discover now