16. Antara Dekap

196 26 24
                                    

Antara dekap, ada spontanitas yang hati cetuskan. Sebuah kekuasaan besar yang tiba-tiba mengendalikan. Menentang pemberontakan ego yang selalu meresahkan.

Seperti Ghava. Memasuki kamar adiknya, lalu memeluknya tanpa berkata.

Ghavi yang duduk di ranjang, tiba-tiba dipeluk dari belakang. Namun, ia masih diam tanpa gerakan. Menikmati peluk nyaman Ghava yang sebenarnya––sangat––ia rindukan.

Ghava memejam, menghitung denyut waktu. Mengetes seberapa lama Ghavi menikmati peluk itu. Ia eratkan, mengurai sedikit demi sedikit jerat rindu. Namun, Ghava harus bersiap untuk mendapat penolakan setelah itu.

"Jangan pernah lepasin pelukan gue."

Sepuluh detik telah terlewati. Ghavi tak ingin terbuai lebih lama lagi. Tak ingin terlalu menikmati. Ia pun mendesis, menyuruh Ghava untuk menepi.

"Ish, lepasin!"

"Iya, nanti. Maafin gue ya. Ghava sayang Vivi," ucap Ghava dengan sangat manis.

Untuk kembarannya, Ghava berikan satu ciuman di pipi. Lalu, ia mengangkat kepalanya dari pundak Ghavi, duduk di samping Ghavi dengan senyum percaya diri.

Namun, Ghavi mengusap bekas ciuman itu dengan raut datar. Membuat Ghava menghembuskan napas, menumpuk sabar. Tidak ada lagi ekspresi imut Ghavi yang biasa terpancar, tiada pula nada kesal yang biasa Ghavi lontar.

"Hey, lo masih marah ya, Vi? Eh, kok gue lupa ya kenapa lo bisa marah gini. Ingetin gue dong."

Ghavi menoleh ke kiri. Ia tau, Ghava hanya memancingnya agar bisa berinteraksi.

"Karena lo cemburu pas gue deketin ayah, lo bilang kalo lo benci gue, lo marah, ninggalin gue. Terus gue sendirian. Sampe terbiasa. Akhirnya, gue juga pengen bikin lo ngerasa sendirian kayak gue dulu."

Pandang Ghavi meninggalkan Ghava. Menyisakan rindu yang mengambang di udara. Rindu yang masih mengikat hati, meminta diurai dalam dekap dua raga. Namun, Ghavi kembali pada abainya. Membekukan dingin atmosfer yang tak pernah ia inginkan sebelumnya.

"Vi, jangan ada dingin di antara kita, selain es teh," kata Ghava.

"Oke."

Dingin itu sengaja ia bekukan. Melawan Ghava yang menawarkan hangatnya pelukan. Ia biarkan Ghava berjuang, sebagai hukuman.

"Iya, Vi. Udah inget kok. Kalo niat lo buat ngehukum gue, gue udah terima. Gue tersiksa kalo gini terus. Kita baikan ya? Nanti gue masakin biskuit panggang. Atau donat goreng? Apa aja deh, nanti gue bikinin."

Ghava adalah terik hangat antara beku. Meski tak mencairkan, ia akan berusaha sepanjang waktu. Intinya, ia dan separuh jiwanya harus kembali menyatu. Agar tiada lagi ruang kosong dalam raga itu.

•|•|•|•|•|•|•

Di teras kelas, Ghavi duduk bersama Dika. Memandangi gerombolan teman-temannya dengan aktivitas yang berbeda menurut kelompoknya.

Dika terus mengoceh, seakan memerinci atas setiap virtualisasi yang dipandang Ghavi. Namun, Ghavi tak sepenuhnya memperhatikan, hanya sekedar mendengarkan, menikmati sayup-sayup musik yang Dika alunkan.

Wah, seperti backsound yang menghidupkan lamunan.

"Eh, Ghava mana, Vi?

Musiknya berhenti. Lamun Ghavi terpecah sunyi. Membuatnya menoleh, merespon pertanyaan tadi.

Belum sempat ia bersuara, Ghavi sudah merasakan hadirnya Ghava. Memeluk dari belakang seperti biasa, membuat Dika tersenyum menyambut Ghava.

Ghava, antara dekap sepihak, ada juang yang ia panjatkan. Ada rindu yang belum habis tercurahkan. Serta, ada kesabaran yang harus ia pertahankan. Mengapa? Karena ada keyakinan akan terkabulnya harapan. Keyakinan akan kembalinya Ghavi dalam dekapan.

Separuh JiwaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt