20. Raja Shushin

75 9 17
                                    

Sugil diantar oleh seorang wanita menuju pemandian. Wanita itu bertubuh tinggi bahkan lebih tinggi dari Sugil. Dia mengenakan baju sutra berwarna merah jambu dengan rambut hitam panjang terurai. Sesaat berjalan di lorong, mereka sampai di lokasi pemandian. 

Pemandian itu adalah sebuah ruangan dengan kolam besar berada di tengahnya. Ruangan itu ditahan oleh pilar-pilar yang cukup banyak. Pada pilar itu terpahat relief erotis wanita dan pria tanpa busana.

Di sudut tepian kolam, terdapat pancuran yang menyemburkan air. Dari sanalah air kolam berasal. Uap air bermunculan dari permukaannya. Bau wangi air di kolam menyeruak ketika Sugil mendekati tepi kolam. 

Si pelayan wanita menutup tirai yang membatasi kolam dengan ruangan kosong. Di tepi kolam, si pelayan membantu Sugil membuka pakaiannya dengan telaten. Setelah pakaiannya terlepas, Sugil masuk ke dalam kolam, diikuti si pelayan. Dibasuhnya punggung Sugil yang penuh dengan luka lebam itu. Luka yang didapatkannya ketika berusaha lari dari kejaran para tentara kerajaan. Sentuhan si pelayan pada lukanya membuat Sugil mendengus kesakitan. 

Pelayan wanita itu meminta Sugil untuk membalikan badannya. Sugil memejamkan mata, tidak menginginkan kontak mata dengan si pelayan. Kini mereka saling berhadapan. Si pelayan membasuh dada bidang Sugil yang juga memiliki luka lebam. Sugil memincingkan matanya dan dengan sembunyi-sembunyi membuka setengah matanya untuk melihat wajah si pelayan. Dari dekat Sugil bisa melihat seorang wanita cantik berjarak hanya satu hembusan nafas darinya. Matanya sipit berwarna biru dengan alis hitam tebal. "Dia adalah seorang Namuria," pikir Sugil dalam hati.

"Apakah kau seorang Namuria?" tanya Sugil memecah keheningan.  

"Aku hanya lah seorang pelayan Tuan," jawab si pelayan sambil lalu.

"Panggil saja aku Sugil. Aku juga seorang pelayan di Meso. Jadi jangan terlalu sopan."

"Bagaimana bisa seorang pelayan mendapatkan luka sebanyak ini?" tanya si pelayan. "Apakah tuanmu sangat kejam?"

"Akan butuh banyak waktu untuk menceritakan luka demi luka di tubuhku. Uh...." Sugil mengernyitkan matanya. "Aku pikir kau terlalu keras mengusapnya."

"Oh maaf tuan... eh, Sugil..."

"Kalau kau panggil aku Tuan, artinya aku akan memanggilmu dengan sebutan Nyonya?" kelakar Sugil. Mereka sedikit tertawa di tengah kemercik air mancur.

"Panggil saja Magna..."

"Magna... Nama yang indah. Bukankah artinya bunga dalam bahasa Namuria?"

Magna menghentikan usapannya ke tubuh Sugil. "Bagaimana kau bisa tahu? Hanya sedikit manusia yang memahaminya."

"Aku pernah menghabiskan beberapa malam di perkampungan Namuria. Sebuah perkampungan yang damai di tengah hutan Mohan."

"Sepertinya tempat yang indah," Magna sambil lalu menanggapi kesan Sugil ketika berkunjung ke perkampungan Namuria.

"Dari mana asal mu? Mohan kah? Atau Janesu?"

Magna terdiam. Tidak ada hasrat untuk menjawabnya. "Sepertinya sudah selesai Sugil. Aku akan mengambilkan handuk." Magna bangkit dari kolam. Membuka tirai dan mengambilkan handuk untuk Sugil mengeringkan diri.

"Tapi bagaimana kau bisa sampai di Dur-Sharukkin?"

"Akan butuh waktu untuk menceritakan kisahku Sugil," jawab Magna melempar senyum kepada Sugil. "Ini handuk dan paikaianmu."

Setelah berpakaian rapi, Sugil diantar oleh Magna ke ruangan Tuan Sargon kembali. Di dalam ruangan Tuan Sargon sudah menantinya dengan busana kebesarannya. 

Maetala - Ekspedisi PedaksinaWhere stories live. Discover now