32. Pemukiman Mouhan

31 2 1
                                    

Jalanan sempit lembah Keranu mengantarkan Sugil beserta rombongan ke daerah tandus dan berbukit. Dua ekor anak harimau gigi pedang masih saja mengikuti rombongan itu. Sesekali Sugil melihat ke arah belakang, berjaga bila ada sesuatu yg tidak diinginkan terjadi. Alih-alih oleh harimau, Sugil juga berjaga karena perbukitan ini sudah masuk kedalam wilayah bangsa Mouhan.

"Sugil, bila ada penyerangan di daerah ini, lebih baik kita mengalah saja. Kita sudah memasuki wilayah Mouhan," ucap Magna lirih.

Sugil memutuskan untuk beristirahat sejenak dibawah bebatuan yang menjorok ke arah jalan setapak. Batuan itu melindungi Sugil dan rombongan dari teriknya sinar matahari dan angin kencang berdebu. Dengan lembut Sugil membersihkan luka milik Magna. "Tahan sedikit Magna," seru Sugil sedikit menekan luka Magna. Cairan berwana putih bening keluar dari luka yang menganga itu. Magna mengelijang sesaat dan lemas tak sadarkan diri. "Kita harus mendapatkan bantuan secepatnya Magna," kata Sugil dengan suara lirih sembari membungkus luka milik Magna kembali.

Angin semilir yang melewati celah bebatuan membuat mata Sugil tidak bisa berkompromi untuk terjaga. Sesaat Sugil menyenderkan badannya di dinding dan terlelap tidur. Di dalam tidurnya Sugil melihat Raja Aslaug dari Meso, memegang pedang nya diatas sebuah bukit di pintu gerbang Ishtar Terra. Didepannya terhampar samudra luas yang dipenuhi kapal perang. Asap-asap yang mengepul di kapal-kapal itu menandakan kerasnya perang berjalan. Disana Sugil dapat melihat Enil sang sahabat, berperang dengan gagahnya dengan balutan baju zirah berwarna putih. Enil melawan seorang Gilitua dengan badan kekar seorang diri diatas deck kapal yang separuhnya telah terbakar. Dengan sigap dia meladeni setiap tebasan kapak milik si Gilitua. Beberapa saat kemudian Enil berhasil menjatuhkan si Gilitua yang nampak kelelahan dan akan segera menyerah. Enil bersiap menusukan pisau nya untuk menghabisi si Gilitua. "Matilah kau...!!!" teriak Enil. Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, tiba-tiba seekor Azdharcid datang dari antah berantah dan langsung mencengkram pundak Enil terbang ke angkasa. Dia berteriak kencang. Kemudian Azdharcid iitu menghempaskan Enil ke atas batu karang di pinggir tebing pantai. Seketika itu Enil mati. Matanya terbuka dan memandang ke arah Sugil.

Sugil terbangun dengan nafas terengah engah. Masih setengah sadar, di depannya terlihat 2 ekor anak harimau sebesar anjing hutan. Salah satunya menggigit kelinci yang tertancap di taring panjangnya. Mengendap endap si anak harimau mendekat ke  Sugil. Dia mengeluarkan suara decitan dan melepaskan kelinci buruannya. Segera setelah itu, 2 ekor anak harimau menghilang di balik sebongkah batu besar.

Sugil melirik ke arah Magna, detak jantungnya seakan berhenti ketika harimau itu sangat dekat dengannya. "Magna... Apakah kau melihat nya?" tanya Sugil sembari menelan ludah.

"Ya Sugil. Aku pikir mereka telah membantu kita mencarikan makanan."

Sugil segera mengambil kelinci itu dan mulai bersiap melanjutkan perjalanan.

Matahari masih terik ketika itu. Magna berharap rombongan mereka dapat melewati lembah keranu sebelum malam datang. Sehingga ketika hari gelap, mereka sudah berkemah didalam kawasan pemukiman Mouhan.

Perjalanan mereka cukup jauh, tujuan mereka ada di balik bukit batu di ujung lembah keranu. Beberapa kali diangkasa terlihat Azdarchid melayang seperti terbawa angin. Barangkali salah satu dari Azdarchid itu ditunggangi oleh orang Mouhan. Sugil selalu wasapada akan hal itu. Sebagai Namurian, suku Mouhan sangat tertutup terhadap dunia luar. "Jadi untuk mengantisipasi serangan mendadak yang bersifat fatal, lebih baik aku meningkatkan kewaspadaan mulai sekarang," ujar Sugil dalam hati. Sugil juga selalu waspada terhadap gerakan si dua harimau. Mereka selalu mengikuti rombongan Sugil. Kini Sugil telah memberi nama kepada masing-masing secara sepihak, untuk mempermudah membedakannya. Si lebih besar dengan luka codet di kaki depan kanan di berinama Kochi. Sedangkan satu lainnya diberi nama Brok.

Kini Sugil telah sampai di atas bukit, tepat di ujung lembah keranu. Dari sana dia bisa melihat hamparan hutan mouhan paling ujung di Dur Sharukkin. Tempat dimana Ras Namuria, Suku Mouhan berada. Hutan mouhan ini berbatasan langsung dengan lautan. Pohon Tre disini lebih tinggi dan besar ketimbang pohon yang ada di pinggiran hutan Mouhan dekat dengan kota Dur Sharrukin. Diantara tajuk megahnya, kepulan asap terlihat membumbung. Dada Sugil berdetak lebih kencang, "Magna, coba kau lihat diujung sana," kata Sugil sembari menunjuk ke arah kepulan asap. Susah payah Magna sedikit menegakan tubuhnya diatas Travois untuk sekedar melihat apa yang ditunjuk Sugil. Magna tersenyum. "Kita sampai Sugil."

Beberapa ekor Azdarchid terlihat melayang dan berputar diatas bukit dimana mereka berdiri. Seakan tau akan ada pengunjung yang tidak diundang. Rombongan itu bergegas turun dari bukit. Melewati jalan yang masih cukup terjal, sebelum akhirnya sampai di batas hutan. Sugil ternganga melihat barisan pohon Tre yang sangat besar di depannya. Bila Sugil melihat keatas tajuk nya, seakan-akan pucuk pohonnya menempel diatas langit. 

"Sugil... kita berhenti disini. Hari sudah mulai gelap. Sebisa mungkin kita tidak memasuki hutan," kata Magna lirih. 

"Bukankah akan lebih aman bila kita berlindung di pinggir hutan ?"

"Mouhan pemburu dimalam hari dan hutan ini adalah tempat mereka berburu. Apapun yang bergerak dihutan ini akan sah menjadi mangsanya. Akan lebih baik bila kita menunggu hingga fajar di luar hutan."

Mereka bersepakat untuk bermalam di pinggir hutan. Sugil menyiapkan api unggun saat 2 ekor anak harimau gigi pedang turun dari bukit dan berhenti tidak jauh dari perkemahan. Sugil melemparkan potongan daging kelinci ke arah harimau itu. Keduanya memakan daging itu dengan lahap sembari mengeluarkan bunyi dengusan dan geraman. Sepertinya harimau itu memang tidak berniat mencelakai Sugil dan Magna. 

Begitulah hari ini berakhir. Sugil mencoba untuk lebih mendekat kepada Kochi dan Brok. Sejauh perjalanan, sepertinya mereka saling melindungi dan berguna satu sama lainnya. "Barangkali kita bisa menjadi teman," kata Sugil memandang 2 ekor harimau di dekatnya.



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 5 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Maetala - Ekspedisi PedaksinaWhere stories live. Discover now