00 - Last Person

11.3K 812 104
                                    

"Jadi jenius itu susah, selau diburu orang dengan hati serakah. Akan tetapi, kalau takdir berkata, kita bisa apa?"

<Re-Search>

=/•🗝️• \=

Dua manusia sedang berdiskusi di sebuah ruangan kedap suara. Salah satunya adalah seorang wanita yang merupakan pemilik ruangan, kepala sekolah SMP Permata.

Sosok lainnya, adalah seorang pria dengan gaya pakaian yang aneh. Dia memakai baju ala kerajaan negeri dongeng dengan jubah besar membungkus sempurna seluruh tubuh. Ah, pria itu juga memakai topeng putih yang menutupi separuh wajah, membuatnya terkesan misterius.

"Jadi, bagaimana menurut Anda?"

Suara si pria misterius terdengar, berujar dengan penuh penekanan. Sungguh, mendengar suaranya saja sudah cukup untuk membuat bulu kuduk meremang.

"Saya tetap pada pendirian saya, apapun resikonya. Gadis itu masih terlalu muda. Saya harap, Anda mengerti." Seakan tidak gentar, wanita sebelumnya, sang tuan rumah, menjawab tegas tanpa keraguan.

"Begitu rupanya. Apakah Anda yakin?"

"Saya sangat yakin."

"Ah ya, saya dengar, sekolah ini tengah dililit utang piutang yang cukup pelik, ya?" Kepala sekolah SMP Permata langsung terdiam. Wajahnya perlahan berubah pucat karena ketakutan.

Berbahaya seperti biasa. Aku harus berhati-hati, batinnya waspada sambil menatap tajam pria di hadapannya.

"Itu bukan urusan Anda, Tuan."

"Ah, begini saja. Kita buat kesepakatan."

Sebelah alis pemilik ruangan terangkat, menatap pria itu dengan raut bertanya.

"Kuberi Anda sebuah cek kosong. Silakan isi sesuai kebutuhan Anda. Sebagai gantinya, berikan gadis itu. Bagaimana?"

Wanita itu tidak bergeming. "Tidak, terima kasih. Siswi saya jauh lebih berharga dari cek kosong pemberian Anda. Maaf, saya masih banyak urusan. Silakan pergi, pintu keluar sebelah sana," usirnya halus.

Ctik!

Suasana ruangan langsung gelap tanpa cahaya dalam satu jentikan jari sang pria misterius. Sungguh, wanita itu ketakutan sekarang. Entahlah, aura pria di hadapannya ini sangat tidak main-main.

"Tuan, tolong jangan bermain-main. Saya serius," tegasnya lagi.

"Apakah wajah saya terlihat sedang bermain-main?" balas si pria.

"Terserah Anda. Saya tetap pada pendirian saya dengan alasan yang sama. Cukup sekali saya memercayakan anak emas saya pada sosok tanpa hati seperti Anda. Saya tidak ingin kejadian itu terulang."

Senyum miring tersungging di bibir pria itu, dia berdiri dan mendekati si wanita yang hanya berjarak sebuah meja tamu dari posisinya.

"Keras kepala seperti biasa. Aku terkadang heran, bagaimana bisa kau selalu menemukan berlian yang dibutuhkan olehku. Kau bisa jelaskan alasannya, Gina?"

"Karena aku manusia, tidak sepertimu, Albert. Sampah masyarakat tanpa perasaan."

Setelahnya wanita itu tetap diam. Akan tetapi, itu tidak bertahan lama. Si pria sepertinya adalah tipe orang egois yang selalu bertindak semaunya sendiri.

Sring.

Di balik jubah yang membungkus tubuhnya, pria itu, Albert, menyembunyikan sebuah pedang yang kini berada apik di sekitar leher si wanita, Gina.

"Berikan dia, Gina. Atau kau akan ke surga lebih awal," katanya penuh penekanan.

=•/🗝️\•=

"Masuk SMA? Ibu bercanda?"

"Tidak Nak, Ibu serius."

"Ah, maaf karena bersikap tidak sopan Bu, tapi saya baru masuk sini tiga bulan lalu."

"Benar. Ibu tahu itu."

"Bukankah terlalu cepat jika Ibu meluluskan saya? Saya bahkan baru masuk kelas 8 sebulan lalu."

Masih di tempat yang sama, tetapi waktu yang berbeda. Penghuni ruangan itu telah berganti. Kini ada seorang gadis belia berseragam khas anak sekolah menengah pertama yang menggantikan si pria misterius.

"Ibu mohon maaf. Mulai besok kau akan bersekolah di SMA Chase."

"SMA Chase?"

Gadis itu mengernyit bingung. Dia yakin, dia bukanlah anak yang kudet, bukan pula siswi yang kuno, tapi mengapa dia tidak pernah mendengar nama itu di dunia pendidikan?

Menyadari wajah kebingungan anak didiknya, Gina semakin cemas.

"Jika memang kau menolak, Ibu akan bicara dengan ke—"

"Saya tidak keberatan Bu. Saya hanya bingung," katanya polos.

Gina diam, dia tidak merespon karena demi apapun, dia sendiri juga tengah dilanda kebingungan—dalam makna yang berbeda.

"Saya bingung. Ibu sendiri mungkin sudah tahu, ini ketujuh kalinya saya dipindahkan. Alasannya selalu sama, saya terlalu cerdas untuk berada di kelas tersebut. Akan tetapi, belum pernah sekalipun saya dipindah sekolah ke jenjang lebih tinggi sebelum lulus," oceh gadis itu, menyampaikan keluh kesahnya.

Gina menyorot gadis belia itu dengan tatapan sendu.

"Maafkan Ibu," lirihnya.

Gadis tadi mengerjap. "Ibu tidak membuat kesalahan. Saya juga tidak membuat kesalahan. Nasib saya saja terlahir cerdas, tapi sulit bersosialisasi. Jadi, jangan bilang maaf lagi Bu, saya semakin bingung."

"Baiklah. Jadi, apa keputusanmu?"

Senyum anak itu terkembang, berusaha menyalurkan energi positif yang kuat pada Gina.

"Saya terima dengan satu syarat. Boleh, Bu?"

"Katakan saja, Nak."

"Ijinkan saya tetap menganggap Ibu sebagai keluarga saya sampai saya siap untuk berpisah."

"Tentu."

720 kata
23 Mei 2021

____________________________________________________________________________

Yosh ...

Ehm, yahoo minna~

Hika balik setelah lama lumutan.🤭

Lagi-lagi, Hika nulis karena event.

//Sungkem//

Jika sebelumnya dipacu Daily Clover Marathon milik Four Leaf Clover, sekarang diuber Montaks Chalice milik Montase Aksara.

Semoga kalian tidak kapok membaca karya Hika ya ...😉

Sekian, au revoir~

School: Re-Search [Terbit]Where stories live. Discover now