[2] Mesin Waktu (1/2)

295 52 8
                                    


"Yang datang akan segera pulang. Yang hilang telah kembali pulang."

Tentang dirinya. Bagaimana ia bertahan, bagaimana ia tersenyum, dan bagaimana ia melalui hari-hari dengan cara yang tak pernah kubayangkan. Semua hal yang dilakukannya membuat kisahku mempunyai warna.

Seperti musim panas yang tak pernah lekang oleh waktu, seperti itulah ia hidup. Memberikan kehangatan pada setiap detak yang ditemuinya. Namun, segalanya kini menjadi pekat. Tidak ada lagi warna-warna yang menghiasi wajahnya. Ia masih menjadi matahari bagi yang lain. Namun, ia bernapas di antara kegelapan yang membelenggu. Ia membutuhkan cahaya untuk melangkah, tapi ia memilih untuk merangkak dan berdiam diri dalam permainan semesta.

*****

Begitu jelas dalam imajinasiku...

Seolah-olah kau berada di sana...

Namun, saat kuulurkan tangan...

Tiba-tiba saja kau menghilang...

*****

Ia tidak bisa menahan senyum setiap melihat kegaduhan di pagi hari. Anak gadisnya mulai beranjak tumbuh seiring berjalannya waktu dan ia bersyukur bisa menyaksikan pertumbuhan itu.

"Mami, stop please! Aku mau main dulu sama Stepi! Aku bisa sarapan nanti! Ini hari libur, Mam. Aku bisa makan nanti!"

Sang ibu sempat kesal dengan sifat keras kepala sang putri. Namun, keras kepala tidak bisa dilawan dengan hal yang sama. Pasti tidak akan pernah selesai. Sejenak ia meredam emosi dengan mengatur napasnya. Kemudian Ia pun menyejajarkan tubuhnya dengang sang anak. "Yujin, sebelum bermain lebih baik mengisi tenaga dulu. Bukannya bermain membutuhkan tenaga?"

Yujin berpikir sejenak. Otaknya melayang ketika ia bermain lari-larian kemudian tiba-tiba pingsan karena tidak mengonsumsi makanan apa pun. Ah, Yujin tidak mau itu terjadi. "Emmm ... baiklah, tapi Mam aku mau dibuatkan sarapan sama Papi, boleh?"

Kedua perempuan yang beda usia itu menatap sang objek dengan kompak. Pria yang sedari tadi menjadi penonton itu menghampiri keduanya. Ia berjongkok di sebelah Yujin. "Tuan Putri ingin sarapan apa? Ayahanda siap melayani."

Yujin menghadap pada sang ayah. "Masak bareng Papi, boleh?"

Sang ayah mengangguk antusias. Kemudian menggendong anaknya dan membawanya menuju dapur. Juga mengabaikan teriakan Yujin yang memekakan telinga. "Papi, Yujin udah besar!"

Setelah sampai di dapur, ia menurunkan sang putri dan mencari bahan makanan yang dibutuhkan. "Ros, kamu udah beli pesananku, 'kan?"

Rose segera menyusul sang suami. Mengambil bahan-bahan makanan yang akan diolah Mingyu dan Yujin. "Kalau tidak membelinya, Mami pasti sudah didemo massal sama kalian."

"Ish! Mami lebay!"

Rose mendelik tak percaya mendengar perkataan putrinya. Alih-alih seperti ibu dan anak, Rose dan Yujin bagaikan air dan api. Sifat keras kepala Rose menurun langsung pada sang putri. Ketika melihat pertengkaran antara keduanya, Mingyu hanya bisa menjadi penonton. Ya, meskipun terkadang mereka bisa juga saling mengalah.

Rose meninggalkan sepasang ayah dan anak itu. Ia mengerjakan pekerjaan lain, merapihkan kamar misalnya. Mereka sudah terbiasa dalam membagi tugas rumah seperti ini. Terkadang Rose tidak tega membiarkan Mingyu mencuci piring setelah makan malam. Padahal ia baru saja pulang kerja.

Historia La Munroses • Mingyu x RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang