[11] Hati Siapa yang Tak Hancur

2K 206 17
                                    

Awan sedang menangis, membasuh keringnya bumi dengan amat derasnya. Kendati matahari sudah tenggelam, Arka masih saja betah menatap langit pekat itu. Pulang sekolah tadi Arka kembali bersua dengan Melodi, seperti rutinitas baru baginya. Seolah nestapa Melodi menjadi tanggung jawabnya saja. Melihat binar mata ambisius itu Arka menjadi semakin yakin tidak ada gen bertendensi bunuh diri dalam keluarganya.

Balkon kamar selalu jadi tempat favorit Arka untuk menghibur diri, selain piano tentunya. Hari ini ia sedang tidak ada gairah menyentuh pianonya. Semakin tidak bergairah lagi ketika ia teringat beberapa patah kata Melodi tadi saat menyinggung tentang kakaknya.

"Kenapa lo bisa setegar itu nyeritain kejadian yang bahkan buat Bunda lo terpuruk?"

Melodi berpaling kepada langit mendung itu, "masa-masa sedih udah berlalu. Sisanya ada dua kemungkinan, bener dugaan gue atau bener kesimpulan pengadilan. Buat bongkar apa yang sebenernya terjadi butuh kesiapan mental, kan?"

"Sorry," Arka berucap singkat dengan banyak arti.

"Sorry for? Nggak papa kali, gue rasa lo tempat curhat yang enak."

"Sorry for everything happen in your whole life," gumam Arka tak terdengar oleh Melodi.

Ah, ia semakin tidak enak hati kepada Melodi. Bahkan sampai detik ini pun ia belum mengungkapkan nama belakangnya kepada perempuan yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya itu. Bukan hal yang perlu dirisaukan sebenarnya, hanya saja Arka khawatir Melodi akan menjauh sebelum masalah terjawab ketika tau dirinya adalah bagian dari keluarga Nusantara. Ia juga harus tau sejauh mana keluarganya bermain-main dengan kehidupan seseorang.

Haruskah ia tanyakan saja apa yang terjadi? Bukannya jawabannya ada di keluarganya? Atau bahkan bisa jadi kakak pertamanya yang paling tahu?

Sepemahamannya pimpinan kantor perusahaan di ibukota adalah Oka. Masih ingat betul saat beberapa tahun lalu ia hadir di rapat pemegang saham yang kala itu dibarengi dengan pengumuman pimpinan baru kantor mereka.

Entah. Arka hanya takut jika fakta sebenarnya kontra dengan keinginannya.

"Cucu Opa ini sedang cari penyakit apa gimana?"

Arka menoleh ke sumber suara, kakeknya sedang berdiri bersandar pintu balkon.

"Cari angin, Opa. Jalan-jalan keluar pasti nggak boleh sama Kak Oka, jadi ya di sini aja."

"Masuk yuk. Hujan gini, dingin."

Tentu saja Arka langsung mengindahkan titah sang kakek. Lain kata jika dikatakan oleh Juna. Bukannya masuk ke dalam malah keluar hujan-hujanan. Lagi pula siapa yang berani membantah ucapan seorang Sri Nusantara? Tidak ada kecuali hanya seorang, mendiang istrinya.

"Masih sering kambuh, Ka?" tanya sang kakek ketika melihat beberapa tabung kaca berisi obat yang tidak asing di matanya itu sedikit berantakan di nakas. Terlihat baru saja digunakan. Arka tak biasa membereskan setelah mengacak-acak barang, memang.

"Yaa, gitu deh, Opa. Nunggu bosen berdetak kali baru nggak sakit," jawab Arka, bercanda.

Dark joke semacam itu tidak semua orang bisa menerima, kan. Begitu pun Sri Nusantara yang tampak diam setelah Arka berucap demikian.

Melihat sang kakek tak menanggapi barang berkedip pun, Arka jadi salah tingkah sendiri. Bukan ke malu akibat candaannya tak dimengerti, namun lebih ke ngeri melihat sorot kakeknya berubah dingin.

"Maaf, Opa."

Sri Nusantara mengalihkan pandangan ke cucu kesayangannya sembari menyuguhkan senyum teduh khasnya, "Joan ada cerita tentang Oma Claire juga?"

Sibling GoalsWhere stories live. Discover now