Bab 11

46 8 1
                                    

Keterkejutan adakah hal pertama yang Zhang Xiao Fan rasakan ketika berada dalam pelukan seorang calon penerus kerajaan. Pemuda manis itu mengerjap-ngerjap, bingung hingga kepala berpikir dengan lambat. Si pemilik senyum manis menatap sosok yang tengah berdiri di ambang pintu sambil memaki.

Zhang Liu Wei enggan meninggalkan aula pertemuan. Pemuda itu meminta paksa pemuda manis dalam dekapan sang penguasa. Tidak ada yang ingin peduli, Zhang Xiao Fan bergeming pada pelukan Pangeran Feng seraya memeluk erat.

Akal sehat seolah lenyap. Amarah Liu Wei yang sengaja pemuda itu tahan ketika tengah melakukan pencarian, telah lepas hingga menguar ke berbagai sisi. Sang tamu mengancam dengan peperangan.

Feng Hao Xing berdecih, mencium ujung kepala si pemuda manis ketika kekacauan semakin menggila. Sang penguasa kerajaan meminta sekaligus sebuah keharusan. Pemilik netra abu tersebut meninggalkan aula kerajaan tanpa ada satu orang pun yang mampu menghalangi.

Namun, sebelum sang penerus kerajaan benar-benar pergi, si pemilik netra abu tersebut menyempatkan diri untuk mengutarakan sebuah keputusan satu pihak yang lagi-lagi membuat Zhang Liu Wei mengamuk semakin menjadi.

"Surat perpisahan sudah dalam perjalanan ke rumah peristirahatan Anda, Tuan Zhang. A-Xiao sudah setuju dan saya meminta paksa agar Anda segera melakukan persetujuan jika tidak ingin terjadi pertumpahan darah." Pangeran Feng merengkuh tubuh Xiao Fan begitu erat, mengabaikan tatapan membunuh seseorang pemuda yang tengah duduk seraya memperhatikan interaksi sang penguasa pada sosok manis dalam pelukan.

"Secepat itukah, A-Xiao? Aku bahkan kesulitan untuk menelan makanan ketika membayangkan kesulitan yang tengah kamu alami." Memiringkan senyum, menatap tanpa berkedip, Xie Yun menggeleng lirih. Pemuda itu membiarkan semua berjalan sesuai kehendak sang pemilik takdir hingga cinta kembali pada sang pemilik.

Aku memiliki keyakinan tersendiri. Meskipun dunia tidak mendukung perasaan yang aku punya, harapan besar tentang sebuah rasa masih bisa aku pertahanan walaupun teramat tipis.

*******

Bulan-bulan berlalu bersama rasa sakit yang tidak mampu terbaca. Xie Yun menerima pernikahan meskipun tidak memiliki rasa. Si pemilik netra elang senantiasa melihat dari kejauhan ketika senyum pemuda manis terasa mengusik hati.

"Bukankah terasa sakit jika tidak mampu merengkuh?" Sang pangeran, pendamping Jenderal Xie, mendekat bersama satu kendi arak kualitas terbaik ketika melihat sang kekasih tengah merindu pada sosok yang tengah bercengkerama dengan Raja Feng.

"Dia," Jenderal Xie menoleh sambil menerima uluran kendi arak, "bukankah terlihat sangat bahagia? Aku tidak pernah mampu membuatnya tertawa ketika kami tengah bersama." Terkekeh tanpa minat, Jenderal Xie menghabiskan arah secara cepat. Pemuda itu membuang kendi secara asal hingga menimbulkan bunyi memekakkan telinga.

Cinta menyiksa, cinta nestapa, cinta tanpa mampu memiliki, perasaan yang tidak pernah terbalas ketika raga tidak mampu memberi perlindungan. Bukankah menjauh sudah menjadi kemantapan hati? Pemilik netra elang tersebut membuang ikatan secara perlahan, menerima pernikahan, membuat hidup serupa raga tidak berguna dan menyisakan rasa sakit.

Pada saat ikatan benang takdir tidak mampu Xie Yun putus secara paksa, maka menyelami rasa rindu adalah siksa paling indah yang tengah sang jenderal terima. Merindu pada raga yang telah menikmati kebahagiaan, si pemilik netra elang memejamkan mata seraya berteriak seperti orang tengah kesetanan.

"A-Xiao! Bagaimana ini?! Aku bahkan tidak mampu membuang perasaan yang begitu menyiksa! Haruskah aku menghancurkan seluruh dunia?! Cinta macam apa ini, A-Xiao?!" Xie Yun bersimpuh pada tanah hingga kedua lutut berbalut debu. Pemuda tampan itu meraung serupa singa tengah kehilangan betina. Sang jenderal memukul permukaan pijakan hingga lengan luka-luka.

"Aku harus apa?" lirih dan terdengar pilu, Xie Yun meremas rambutnya sendiri hingga rasa sakit tidak lagi ia pedulikan. Pemilik netra elang terus mengajar tanah dan bebatuan kecil hingga lelah mendera, pun masih saja melakukan perbuatan tidak mengenakkan.

Jenderal besar yang telah kalah oleh cinta. Ya, pemuda tampan itu menyiksa rasa terus-terusan, mengabaikan perasaan sang pendamping, tanpa mau peduli ada yang tengah tersakiti ataukah tidak.

"Bagaimana jika membuat kesepakatan?" Sang pangeran, pendamping Jenderal Xie berjongkok serta mengusap bahu si pemilik netra elang.

"Dekati atau sakiti?" Sang pangeran tersenyum miring, berdiri perlahan, memutar tubuh, mengerakkan kaki menuju tanaman higanbana yang mulai bermekaran.

"Bukankah kisah cinta kalian serupa higanbana? Ketika kamu memilih rela untuk melihat Zhang Xiao Fan tersenyum, kamu justru memilih memelihara racun hingga merusak perasaan." Terbahak seraya meninggalkan sang jenderal, putra sang raja memilih menyiksa diri dengan rasa sakit, menikmati arak yang terasa membakar tenggorokan bersama tangis tertahan dan selalu tumpah setiap malam.

Aku lebih menyedihkan dari seorang gelandang, bukan?

******

Tiga hari kunjungan kerajaan telah berakhir. Sang tamu meninggalkan istana barat ketika kesepakatan telah dibuat. Tidak ada yang berubah menjadi lebih baik. Semua masih terasa sama. Kesedihan menjadi pemeran utama dan tidak ada penawar untuk menyembuhkan.

"Masih memilih menjadi orang bodoh?" Sang pangeran memeluk tubuh si pemilik netra elang, menyandarkan kepala pada punggung kokoh sang pendamping, pemilik netra sipit dengan gurat-gurat lelah terlihat jelas itu, memejamkan mata sembari menghirup aroma memenangkan kayu hitam pada tubuh.

"Bukankah aku selalu bodoh? Untuk apa memaksa menjadi manusia cerdas?" Xie Yun memutar tubuh, menatap netra sembab sang pangeran. Bukankah dua pemuda itu sama-sama menyedihkan?

"Temui dan katakan, kamu masih memiliki sejuta rasa tanpa pernah terbagi." Mencium pipi, memeluk erat, menertawai diri masing-masing hingga lupa kesedihan untuk sementara. Dua pemuda itu serupa sahabat, selalu bersamamu dalam kesedihan. Saling bercerita, bertukar pemikiran, mengabaikan sementara rasa sakit ketika cinta tidak bisa memiliki dan berakhir berjauhan.

Perbedaan itu semakin terlihat jelas, A-Xiao. Bukan lagi tentang kedudukan, tetapi kuatnya perasaan yang kita miliki satu sama lain.

******

Aula pelatihan dipenuhi keributan. Beberapa prajurit menuding satu sama lain, menyalahkan kejadian tidak mengenakkan hingga membuat sang ratu terluka nyaris tiada.

"Cukup! Bereskan semua kekacauan! Tunggu keputusan eksekusi!" Jenderal utama kerajaan Feng tengah menatap bersama amarah yang terlihat menakutkan. Beberapa menunduk hingga takut untuk menegakkan kepala, lalu sebagian yang lain memilih bersimpuh pada permukaan lantai aula pelatihan bersama ketakutan tertahan.

"Itu bukan salah mereka, Jenderal Han. Aku yang memaksa para prajurit. Terlalu bosan dan tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan." Menghela napas lelah, mengulurkan tangan secara susah payah. Terdapat goresan memanjang pada lengan yang sudah terbalut kain bersih.

"Keras kepala!" Raja Feng Hao Xing, menatap sang pendamping bersama amarah yang tidak mampu lagi ia tahan. Pemilik netra abu tersebut tengah menuruni anak tangga dengan langkah cepat.

Lengan dikibas, menatap sang jenderal, memberi instruksi untuk mengosongkan aula pelatihan hingga menyisakan dua orang, pemilik rasa berbeda yang mampu dua pemuda itu tutupi dengan baik.

"Bawa aku bersamamu jika kamu ingin mengakhiri hidup, A-Xiao." Terasa puluhan bebatuan menghantam sanubari, kata-kata Sang Raja membuat pemuda manis itu tersadar dari ego besar tentang sebuah rasa.

"Tidak akan pernah!" Memeluk erat, mencoba menghapus jejak kesedihan, mengabaikan rasa sakit yang menjalar hingga ke kepala ketika si pemilik senyum manis telah membuat kesalahan entah sudah berapa banyak.

"Jangan seperti itu, kamu satu-satunya orang yang aku miliki ketika cintaku menjauh, A-Hao." Zhang Xiao Fan menangis lirih.

"Maka jaga dirimu dengan baik ketika aku sedang tidak ada di istana. Berjanjilah."


Tbc.

PerbedaanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora