🌑 In the Depth 🌑

20 5 0
                                    

Ameria membeliak. Apa yang baru saja dilihatnya? Sekelebat sosok berwarna di antara kegelapan hutan di sana? Benarkah?

Tak ingin kehilangan kesempatan, ia segera mencondongkan badan. Surai merahnya berkibar tatkala kepalanya melewati bingkai jendela.

Mata bulatnya yang lebar menelusur. Pada sela-sela kecil di antara jalinan akar yang besar, barisan semak gelap dan rimbun, bahkan puncak pepohonan yang menjulang di batas cakrawala. Dengan segunung harapan, Ameria mencari sosok berwarna itu.

Namun, tidak ada. Ameria tak berhasil menemukan apa pun. Wajahnya kembali muram, bahkan semakin suram, seolah mendung bergelayutan di sana.

"Oh, apa yang aku harapkan! Bodoh sekali! Sosok berwarna itu pasti hanya ilusi!" gerutu Ameria, lalu menutup tirai jendela sebelum berbalik karena kecewa.

***

Di tengah malam yang sunyi. Ameria duduk menekuk lutut, menyandarkan kerapuhan pada dinding batu yang kokoh. Sesuatu yang berat menggantung di dadanya, mengganjal tenggorokannya. Jutaan kata berkumpul dan tertahan di sana. Membuatnya tak bisa melakukan apa pun, kecuali meratap.

Mimpi itu datang lagi. Menyisakan suara keras di luar tembok yang terus terdengar. Dentamannya menguasai rongga telinga Ameria. Jika suara itu berasal dari mimpi, mengapa ketika terbangun ia masih mendengarnya?

Suara itu nyata atau tidak, Ameria tak mengerti. Ia hampir tak bisa membedakannya. Mungkin benar, ada yang salah pada dirinya.

Apa keanehan ini yang membuat ia diasingkan di tempat sunyi sendirian? Tak berteman, kecuali Squirk yang datang mengantarkannya makanan atau apa pun yang ia butuhkan. Ameria menggeleng. Tidak, Squirk bukan teman. Ia hanya menjalankan tugasnya. Seperti yang pernah dikatakan Squirk. Jika pria tua itu berhenti melayani Ameria, seseorang akan membunuhnya.

Ya, seseorang. Yang Ameria sebut sebagai orang asing. Ia tak pernah tahu seperti apa wujudnya. Orang asing itu jauh dan tak pernah datang, kecuali benda-benda mahal yang--kata Squirk--berasal darinya.

Suara itu semakin kencang. Ameria menutup telinga dengan kedua telapak tangannya. Kebisingan, dentaman, bisikan. Semuanya melebur dan menjelma menjadi kabut gelap. Melingkupi tubuhnya ... melumpuhkan kewarasannya ... mencekik keberaniannya.

Api yang selalu berkobar di dalam mata Ameria kini meredup. Kemudian, tetes demi tetes air mata memadamkannya.

Suara itu, Ameria membencinya. Mengapa ia harus terganggu oleh kebisingan? Sementara kenyataannya, di sini ... di lantai dingin ini, ia hanya seorang diri?

Benar. Ia masih seorang diri.

Ameria mencoba mengangkat wajah. Ranjang berpelitur emas, lemari besar bertatahkan berlian, pernak-pernik dengan segala ornamen berkilaunya, semua yang ada di ruang kaku itu seolah mencemooh Ameria. Jika benda-benda mahal itu bernyawa, mungkin kini mereka sudah tertawa. Ingin sekali Ameria menyingkirkan mereka. Membuangnya, mungkin. Manusia menganggap mereka berharga. Tak perlu khawatir. Ameria yakin benda mati seperti mereka tetap akan mendapat pelukan walau dibuang sendirian.

Tidak sepertinya.

Ah, sekarang Ameria jadi penasaran bagaimana rasanya sebuah pelukan. Ia pernah mendengar bahwa kehangatan dalam pelukan itu nyata. Squirk selalu membawakan buku-buku cerita yang semua tokohnya saling memberi pelukan. Lalu pipi mereka merona setelahnya.

Mengapa pipi seseorang merona? Apakah pelukan itu membuat mereka bahagia? Seperti apa cara kerjanya? Ameria belum pernah merasakannya.

"Pelukan, ya? Apakah seperti ini rasanya?"

Ameria mendekatkan lututnya ke dada. Memeluknya. Wajahnya terbenam dalam pelukannya sendiri.

Hangat.

***

~19 Mei 2021~

Meet Me in the DarknessWhere stories live. Discover now