🌑 Dark of Me 🌑

64 13 16
                                    

Jauh di dalam kegelapan. Seorang gadis bersurai merah terkurung dalam kastel yang sangat tinggi. Wajahnya pucat seolah tak pernah memiliki semburat rona. Setiap helai surai panjangnya mencuat tajam. 

Ia merasa jiwanya telah lama mati. Dunianya terbatas sepanjang mata memandang bersama hutan yang lebat dan gelap. Pepohonan dengan jalinan akar yang sangat tinggi mengelilingi kastel dengan begitu angkuh.

Sang gadis tak pernah bosan memandangi dunia sekitarnya dari bingkai jendela. Ia selalu membayangkan melintasi batas itu, menapakkan kaki pada rerumputan di dunia luar sana. Paru-parunya lelah dipenuhi udara yang lembab dan dingin. Ia mendambakan kehangatan yang mungkin ada di balik jeruji itu. 

Ya. Meski terlarang.

"Ameria!"

Sang gadis mendengar namanya dipanggil, tapi ia sedang enggan menoleh. Ia masih bertopang dagu pada bingkai jendela. 

"Ameria?" panggil suara itu lagi, kali ini dengan lebih lembut. "Sarapanmu sudah siap."

"Oh, jangan sekarang. Tinggalkan aku sendiri, Squirk!" kata gadis itu tanpa menoleh.

"Nona Ameria!"

Tangan gadis itu mengepal lalu memukul bingkai jendela sehingga terdengar bunyi BRAK yang cukup keras. Ia segera memutar kepala. Surai-surai merahnya yang mengembang beterbangan tak beraturan. Ia menatap dengan lidah api menyembur-nyebur dari dalam manik matanya yang merah. Membuat seorang pria tua gemuk tak bisa mengelak dari ambang pintu. 

"Kau sudah hafal aku tidak suka dipanggil Nona Ameria!" kata gadis itu berapi-api. Sekarang rambutnya benar-benar mirip seperti api yang membara tetapi dengan wajah pucat. "Bertahun-tahun aku katakan, panggil aku Ameria saja. Bukankah kau sudah melayaniku sejak aku lahir, Squirk? Apa kau lupa caranya berhitung! Sudah berapa tahun usiaku, Squirk?"

"Lima belas tahun?" jawab Squirk kaku. 

"Jadi jangan pura-pura lupa! Panggil aku Ameria saja! Paham, Squirk?" kata Ameria kemudian berbalik dan berjalan memunggungi pintu.

Gadis itu kembali menuju bingkai jendela. Gaun satinnya yang berwarna hitam memberi sapuan kontras dengan lantai kastel yang putih. 

Otot Squirk yang semula menegang, mulai melemas perlahan. Seulas senyum mengembang di bawah kumisnya yang tebal tapi meruncing di bagian ujungnya. Jari-jari tangannya gemuk seperti hidangan sosis yang kini ia bawa dalam piring bertudung. "Sarapanmu, Ameria."

"Kenapa kau meletakkannya di situ Squirk?" sembur Ameria lagi ketika melihat Squirk meletakkan sepiring sarapannya di meja dekat jendela. Ameria menunjuk ke meja nakas. "Letakkan di sana!"

Squirk segera memindah piring itu ke meja nakas. 

"Tidak Squirk! Bukan di nakas yang itu. Tapi di sana!" Ameria menunjuk nakas satunya.

Squirk menghela napas berat. Tengkuknya terkulai.

"Tidak! Tidak! Apa yang kau lakukan, Squirk? Tegakkan lehermu!" seru Ameria.

Squirk cepat-cepat menegakkan lehernya. Ia mengangkat piring bertudung itu lalu berjalan ke nakas seberang ranjang. Ia lega lalu tersenyum kecil setelahnya.

"Hentikan itu!" teriak Ameria sehingga Squirk terlihat seperti patung kelinci yang sedang tersenyum. "Jangan tersenyum! Siapa pun tidak boleh tersenyum di hadapanku!"

Dengan segera Squirk mengendurkan otot mulutnya. Senyumannya kembali hilang sehingga kini yang nampak menonjol hanya kumis tebal. Ia meletakkan piring di atas nakas dengan hati-hati. 

"Kau boleh pergi." Ameria mengibaskan tangannya. Lalu Squirk meninggalkan kamar Ameria dengan otot leher kaku dan wajah tegang.

Hanya keramaian itulah yang akan terdengar setiap pagi. Kemudian, setelahnya hening.

Ameria kembali menghadapkan wajahnya pada dunia di luar bingkai jendela. "Siapa pun, aku ingin melewati pagar itu," gumamnya. Lalu matanya membesar ketika menangkap sekelebat bayangan berwarna cerah di antara pagar itu.

***

Meet Me in the DarknessWo Geschichten leben. Entdecke jetzt