6. Ke Dukun

1.4K 292 85
                                    

Lanjuttt

Jangan lupa tekan bintang dan komen

***

"Si...Sisy, jangan begitu dong. Kan sudah Mama bilang itu cuma sekadar acara makan-makan biasa."

Sisy menghentikan langkah menuju kamarnya. Ia berbalik menghadap Siska.

"Tapi Mama nggak bilang lebih dulu kalau acara itu juga dalam rangka mau kenalin Sisy sama cowok! Mama kenapa tega gitu sama Sisy?"

"Memangnya kalau Mama ngomong kalau acara itu memang ada maksud semacam itu kamu mau datang?"

"Nggak tau. Tapi setidaknya besok ngomong dulu, Ma! Ngomong!"

"Iya, iya Sy," Siska berdecak enteng. "Lagian juga Bisma sendiri berpikiran sama dengan kamu, nggak setuju sama perjodohan ini. Kamu udah lega kan? Mama janji nggak akan kayak gitu lagi. Sudah sana kamu cuci muka biar nggak muncul jerawat." Lalu berlalu menuju kamar lebih dulu.

Mengatur napasnya, Sisy mencoba mengendalikan emosi. Dengan gontai Sisy melangkah menuju kamarnya juga. Ia menutup pintu dan terdiam. Memang ia lega Bisma tidak menyetujui acara pendekatan itu. Tapi di saat yang sama, Sisy juga ingin menangis. Ia merasa ditolak. Bukannya Sisy mengharapkan Bisma jatuh cinta padanya karena tentu saja ia pasti akan menolak Bisma juga. Hanya saja kejadian ini lebih membuatnya makin terpuruk setelah insiden Ray memiliki wanita lain. Rasanya ia semakin tidak berharga, tidak spesial sehingga tidak ada laki-laki yang jatuh cinta setengah mati padanya seperti di film-film roman picisan yang ia benci.

For God sake, Sisy. Don't be so melancholy.

Sisy menarik napas panjang sekali lagi dan melangkah menuju toilet kamarnya. Ia akan kembali menjadi Sisy yang biasa. Yang bahagia dengan hanya teh chamomile dan bukunya sepanjang malam.

***

"Bapak nggak paham jalan pikiranmu, Bisma! Apa sih kurangnya Sisy? Kamu mau nyari yang seperti apalagi?" Pertengkaran tak terelakkan terjadi pagi itu di rumah keluarga Prasetyo. Tadi malam mereka langsung menuju ke kamar masing-masing dan memilih tidur sehingga baru pagi ini persidangan keluarga dimulai.

"Justru harusnya Bisma yang nanya, Pak. Bisma nggak paham jalan pikiran Bapak sama Ibu," balas Bisma tak kalah sengit.

Ito yang orang luar tapi apesnya berada di lokasi pertengkaran keluarga itu cuma bisa duduk bergeming di samping Bisma, tidak berani meminum kopinya karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.

Prasetyo seakan tak mendengar dan terus berceloteh, "Dengan susah payah Jeng Sari mengatur pertemuan itu. Kamu sudah membuat Jeng Sari malu! Di mana Bapak harus menaruh muka Bapak kalau ketemu Jeng Sari nanti?!"

Hesti yang sejak tadi diam spontan mendelik pada Prasetyo. "Heh! Kok Jeng Sari? Apa urusannya? Bapak jangan salah fokus, ini soal masa depan anak kita! Kenapa jadi ngurusin Jeng Sari?"

"Maksud aku Bu, kita semua malu. Bisma nggak sopan kemarin pergi dari restoran sembarangan." Prasetyo meringis.

Masih dengan mimik serius, Hesti menoleh pada Bisma. "Kami hanya ingin kamu cepat menikah. Sudah sejak dulu kami wanti-wanti. Tapi jangankan bawa calon istri, denger kamu pacaran aja Ibu belum pernah."

"Kamu lihat? Ayam di kandang belakang dari 40 ekor tinggal 7!" Prasetyo mengacungkan telunjuk ke halaman belakang. "Setiap ekor yang Bapak potong untuk acara perjodohan kamu itu jadi doa, tapi selalu gagal. Bayangkan! 33 ekor ayam Bapak seperti martir di medan perang, bedanya mereka mati sia sia. Kamu nunggu sampai berapa ayam Bapak lagi yang mati sia sia buat mendapatkan calon istrimu?"

Wedding Proposal (END-isi lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang