13. Efek Kelamaan Menjomblo

1.3K 198 28
                                    

Sisy tidak mengerti kenapa ia mau melakukan ide gila ini. Sore ini ia melaksanakan rencana Ito setelah beristirahat siang di kamar. Kliennya melakukan janji untuk presentasi dengannya besok sehingga lagi-lagi hari ini ia bebas sampai sore. Dengan blus krim polos dan celana pendek beige, Sisy turun ke lobi. Rencananya Bisma akan menyambutnya di sana sementara Ito dan karin melaksanakan misi 'penyedap rasa'. Entah misi macam apa itu.

Yang jelas nasi sudah menjadi bubur  meski Sisy tidak melakukan penolakan ataupun mengatakan persetujuan. Ia hanya mencoba memberikan kesempatan pada ide gila mereka. Tidak tahu berhasil atau malah memperburuk keadaan.

Pintu lift terbuka menampakkan pemandangan lobi yang luas. Sisy maju beberapa langkah dekat sebuah pilar dan berdiri sendirian di sana tanpa tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana arah tujuannya. Mereka yakin bahwa Ray pasti membuntuti Sisy sejak dari lobi sehingga drama mereka harus dimulai dari tempat itu.

"Bu Sisy..." Suara Bisma menyapanya. Sisy berbalik ke belakang dan menemukan pria itu menaruh buket bunga di tangannya. Sisy menerima dengan terpaksa.

"Kenapa panggil Ibu lagi? Aku bukan ibu kamu." Sisy memasang wajah jutek yang dibuat-buat. Tapi ia juga  tersenyum karena ternyata ia bisa menjadi humoris. Hal yang jarang ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.

"Nanti kalau aku panggil Mbak bisa berabe. Aku nggak mempertimbangkan kamu ternyata bisa bikin mata bonyok. Kalau tahu gitu dari dulu aku nggak bakal berani masuk kantor Bu Sisy..."

"Kamu boleh panggil aku Sisy mulai sekarang!" potong Sisy dengan nada memerintah.

Bisma tersenyum nakal. "Baik, Bu Sisy." Ia menghormat sekilas dengan tangannya yang bebas. Satu tangannya lagi seperti biasa memegang kamera.

"Dapat bunga di mana, sih?"

"Kuburan."

"Heh?!"  Sisy melotot.

"Ya belilah. Pake nanya."

"Kenapa pake bunga segala? Alay tau nggak?" decak Sisy. Mereka bercakap-cakap sambil jalan bareng. Lalu mereka duduk setelah menemukan satu kursi kosong di dekat kolam.

"Biar meyakinkan. Menurut aku bener juga sih. Ray itu masih ngejar-ngejar kamu karena kamu selama ini belum ada punya hubungan serius sama cowok. Nggak salah dia ngerasa kamu gagal move on."

"Masa standar move on atau enggak itu patokannya pakai hubungan baru? Emang salah apa pengen sendirian?"

"Nggak salah. Hanya saja pemikiran itu nggak umum. Kamu tau sendiri gimana pemikiran mayoritas masyarakat. Nggak perlu jauh-jauh nyari contoh. Orangtuaku salah satunya."

Sisy melirik sekilas dan teringat perjodohan mereka. "Mungkin ibu aku juga."

Sepertinya Bisma juga mengingat hal yang sama, karena setelahnya ia bertanya, "Emang kamu sering dijodohkan?"

"Dijodohkan sih enggak. Paling perkenalan aja. Dulu Mama getol maunya aku balik lagi sama Ray."

Bisma tertawa tak percaya. "Serius? Apa ibumu nggak tau penyebab kalian putus?"

"Tau. Tapi dia takut...yah, aku cewek umur dua tujuh yang belum ada tanda-tanda bakal nikah. Kamu pasti bisa simpulin, kan?" Sisy mengangkat kedua bahu. Bisma mengangguk-angguk. "Padahal aku baik-baik aja."

"Mereka nggak ngerti kalau pernikahan itu bukan akhir dari perjalanan," lanjut Sisy dengan tatapan menerawang, lalu menoleh pada Bisma. "Kamu sendiri sudah berapa kali dijodohkan?"

"Baru tiga puluh tiga kali."

Sisy tercengang. "Oh, ya?"

"Bapakku udah korbanin tiga puluh tiga ayam peliharaannya sebagai doa untuk setiap perempuan yang ia jodohkan denganku."

Wedding Proposal (END-isi lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang