Chapter 16

3.4K 125 1
                                    

Pyralis sedang makan, sedikit kaget saat tangannya di tarik oleh suaminya. Saat menoleh ternyata Omar tengah memberi salep untuk cakaran Arsy di lengan kirinya.

"Kamu gak makan?"

"Nanti saja," meskipun sikap Omar begitu perhatian tapi tidak bisa dibohongi jika kepergian buah hati mereka menyisakan kekosongan di dalam sana.

Setelah selesai mereka duduk bersama di ruang tengah sambil menonton televisi. Pyralis terduduk nyaman dengan tubuh berada diantara kedua kaki Omar. Begini saja rasanya begitu romantis untuk kedua manusia ini.

"Kenapa suka sama Arsy?" Pertanyaan random yang sedikit membuat Pyralis terkejut.

Ia mendongak sebentar menatap Omar. "Aku gak tau, tapi rasanya sedih aja ngeliat dia murung sementara yang lain tampak ceria."

"Aku gak tau benar atau tidak, tapi dari yang aku lihat dia kayaknya punya trauma sama perempuan dewasa."

"Aku juga sempat kepikiran gitu tapi buktinya Arsy tidak berontak kalo sama Bu Siti."

"Dia merindukan sosok ayah. Kenapa orang yang mengadopsi Titan tidak mengajak Arsy sekalian?"

Itu juga yang membuat Pyralis heran, secara kedua anak itu yang mungkin saja umurnya tidak jauh beda seperti tidak bisa dipisahkan bahkan ketika di panti mereka sudah seperti anak kembar. Obrolan mereka diakhiri dengan Pyralis yang mengeluh pusing, setelah meminum obat keduanya tidur.

***

"Mar, udah stop. Aku gapapa, jangan bikin orang-orang panik."

Sekar mengangguk setuju mendengar apa yang dikatakan Pyralis. Dengan gerakan sedikit berlebihan Sekar mengusap keringat di jidat lebarnya.

"Iya aku tau kamu khawatir, tapi gak usah berlebihan kayak gini."

Tak lama Pyralis mengakhiri panggilan teleponnya. "Udah gue bilangin, sana balik kerja!"

"Suami lo itu gak bisa apa khawatir gak usah bikin orang lain panik juga, hampir aja gue ngelindes anak kucing di jalan saking khawatir lo kenapa-kenapa."

Pagi-pagi sekali Omar menelpon mengatakan jika Pyralis memaksa pergi ke kafe padahal tengah sakit. Dalam pikiran Sekar mengira jika temannya itu sakit lumayan parah tapi setelah mendapati Pyralis yang marah-marah kepada pekerjanya. Dari situ ia tahu, jika bos sekaligus temannya itu baik-baik saja.

"Banyak omong, udah sana pergi!"

Sekar pergi dengan kaki dihentakan. Dasar. Tak lama berganti dengan Dini yang masuk dengan wajah panik juga.

"Ini mbak, Dini bawain teh hangat."

Melihat itu Pyralis yang tadinya sehat jadi pusing beneran. "Iya, terimakasih."

"Mbak kalo kenapa-kenapa panggil aja Dini, kalo gitu saya pamit kerja lagi."

"Tunggu-tunggu," mendengar itu Dini berbalik dengan nampan di pelukannya.

"Kenapa mbak?"

"Siapa yang nyuruh kamu bikinin saya teh hangat?"

"Pak Omar," jawab Dini tanpa rasa bersalah.

***

Pyralis bergeser membagi tempat tidur dengan suaminya, setelah seharian membuat kesal kini justru ia merasa kasihan melihat Omar yang pulang dengan wajah pucat.

"Kamu sakit?"

Omar menggeleng lalu tangannya menunjuk sepatu yang belum di lepas, dengan posisi berbaring yang tak nyaman dilihat.

"Lagi ada masalah di kantor?" Masih saja bertanya saking ingin tahunya.

Begitu selesai melepas sepatu Omar, ia meminta pria itu memperbaiki posisi tidurnya. "Gimana kondisi kamu?" Tanya Omar.

Pyralis mengambilkan baju ganti lalu mendengus saat yang keluar dari mulut Omar bukan jawaban melainkan pertanyaan untuknya.

"Harus berapa kali aku bilang sih, aku nggak apa-apa."

Membuka matanya sesaat Omar tersenyum tenang. "Syukurlah."

Dengan sedikit kesal Pyralis menggantikan baju suaminya, dia sama sekali tidak menolak yang ada tampak menikmati. Kemudian Omar menarik istrinya dalam dekapan. Menghirup aroma yang selalu menjadi candunya. Lelahnya seketika sirna. Begitu berpengaruh sekali, beruntungnya Omar memiliki istri seperti Pyralis.

***

Pyralis berada di kediaman orang tuanya karena Erika ternyata sakit, mungkin karena kelelahan akhir-akhir ini paruh baya itu terlalu aktif di dapur membuat berbagai macam kue. Entah untuk di makan sendiri ataupun di jual jika ada yang memesan.

Setelah selesai memberi makan mama, Pyralis lanjut memasak untuk papa dan Gloria.

"Pyr, adik kamu akhir-akhir ini jarang keluar kamar."

Tadi ia sudah melarang keras agar Erika tidak turun dari kasur. Dengan alasan sudah lebih baik dari sebelumnya wanita paruh baya itu kini tengah terduduk di dapur sambil memakan apel.

"Mama udah coba tanya belum, dia kan emang sering gitu kalo ada kemauan yang gak diturutin."

"Udah kak, tapi anaknya diam aja."

"Ya udah, nanti aku temuin dia."

Selesai memasak Pyralis membawa mama ke kamar lalu dia naik ke atas di mana kamar adiknya berada.

"Dek, ini kak Pyr!" Ketukan pintu untuk kesekian kali barulah di buka.

"Masuk, kak."

Gloria kelihatan murung dan itu tampak menyedihkan di mata Pyralis. Biasanya anak ini kalo apa-apa jangan langsung di todong dengan pertanyaan inti, harus dibaikin dulu. Menanyakan kabar dan basa-basi lainnya.

"Kapan-kapan ajakin Glo, ya. Jadi penasaran kayak gimana anak yang namanya Arsy" Pyralis tersenyum puas melihatnya.

Mereka duduk berhadapan di kasur, tak lama Pyralis menarik kedua lengan Gloria menggenggam erat lalu mengiringinya dengan senyuman.

"Cerita sama kakak, apapun."

"Kak," dengan cepat Pyralis tarik kembali jemari adiknya yang tadi menghindar.

Awalnya Gloria tampak ragu kemudian tatapannya melemah. "Kak, kenapa gue beda."

Ini yang sedari dulu Pyralis takutkan disaat adiknya mempertanyakan hal ini. "Kakak yakin orang yang mengatakan itu, hanya orang luar yang tidak tahu bagaimana kita sebenarnya."

"Gue iri kak, teman-teman gue bisa bebas melakukan apapun. Tapi gue gak bisa, mama selalu melarang ini dan itu."

Bukan berbeda dalam artian lain karena permasalahan ini jelas sama seperti ia remaja dulu. Selalu mempertanyakan kenapa orangtunya terlalu mengekang tidak seperti temannya. Lalu ia yakin kejadian saat Erika kecolongan karena Pyralis hamil di luar nikah pasti membuat wanita itu semakin mengetatkan penjagaannya.

Pyralis membawa adiknya ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya.

"Dengerin kakak, Glo. Semua yang lo rasa beda adalah bentuk kasih sayang seorang ibu untuk anaknya. Mama gak akan berlaku seperti ini kalo dia gak sayang sama lo. Biar Lo ngerti juga, inti dari semua itu adalah mama nggak pengen lo mengulang kisah kakak."

"Tapi mama gak percaya sama gue, kak?"

"Mama terlalu takut Glo, kepercayaan mama pernah dirusak sama gue sebelumnya dia gak bisa ngebiarin lo jatuh ke dalam lubang yang sama."

"Maafin Gloria kak," gadis itu merasa bersalah telah membuat kakaknya menangis juga.

"Minta maaf sama mama."

My BOYFRIEND is My HUSBAND (COMPLETED)Where stories live. Discover now