"Kidung Rembulan"

27 5 0
                                    

Suasananya begitu tentram, terdengar kicauan burung di dalam sangkar.
Ku lihat sekeliling, ada kurang lebih empat sangkar burung lengkap dengan burung warna-warninya.
Kicauannya merdu, seolah menyambut kedatangan kami.
Tempat ini sepertinya tempat santai yg berada tidak jauh dari pagupon tadi.
Hanya saja lebih private. Berukuran lebih kecil, terdapat banyak tanaman bunga disini, bunga jenis daun-daunan dan hijau rimbun. Daunya pun mengkilap seperti setiapnya hari di bersihkan, ada banyak sekali macamnya aku tidak tau ini apa saja nama bunga nya hehehe. Lalu di tepat di depan rumah yang begitu asri ini juga terdapat kolam ikan, ikan jenis koi atau apa ya ini. Mereka berjumlah sekitar duapuluhan ekor, ada yang berwarna merah, kuning, hitam, ukurannya pun bermacam-macam. Kolamnya juga terdapat air mancur buatan. Mirip dengan aquascape alami, gemercik airnya sayup-sayup menenangkan.
Aku melihat sekeliling dengan takjub, hingga di kagetkan dengan sapaan kyai.

" Apa nduk?? Bagus?? Kamu suka tempatnya??"

Seketika aku lupa bahwa di hadapanku ada kyai, ya Allah. Aku menundukkan kepala dengan pandanganku, sambil melirik ke arah kyai, abah dan umi.

"Injeh kyai, begitu asrii teduh "

"Hehehe"
Gumam kyai sambil memegang bantal di sebelah nya.

"Opo durung tau kok jak mrene to gus"
Tanya kyai kepada abahku.

"Dereng yai, tasih niki"

"Oalahh.. pie pie enek opo cah bagus, aku ki nek nyawang sampean kelingan mbah Buyutmu, bagus sepuh o tetep berwibawa"

"Kulo malah dereng panggih mbah buyut yai, namung cerito mawon"

"Biyen, jaman aku sik nyantri nang lirboyo, durung koyo saiki, sik gubug Buyutmu kui kereng e maasyaAllah, tp ampuhe ya sundul langit"

Lambat laun kami mendengarkan cerita kyai, bagaimana beliau mengemba ilmu, bertemu orang alim begitu banyak, sampai menjadi Kyai besar seperti sekarang ini, begitu banyak lika likunya, begitu banyak tirakatnya.
Tidak seperti sekarang ini, di zaman moderen seperti ini alat komunikasi sudah canggih, sudah ada sepeda motor, dan lain-lain.

Beliau menceritakan, bahwa ilmu itu di harus ditirakati, salah satu bentuk tirakat itu juga banyak. Mengalami kesusahan dalam menuntut ilmu itu juga tirakat, di sekolah di pondok terdapat musibah juga bentuk tirakat.
Makan sama garam dan sambel bawang di pondok itu juga betuk tirakat. Belum di kirimin uang oleh orang tua itu juga bentuk tirakat.

Yang penting kita harus selalu menjalaninya dengan ikhlas, lillahita'ala untuk mencapai ridho nya Allah.
Jadi ada banyak hal yang beliau dawuhkan, ini merupakan sebuah nasihat yang benar-benar harus di ingat sampai kapan pun.

Aku mangguk-mangguk mendengarkan nasihat beliau.
Sampai pada beliau menanyakan kepadaku.

"Sampean wis siap nduk nompo sembarang-sembarang ujian tirakat sing ora enak ngono kui kabeh??"

Jantungku serasa berhenti berdetak, mulutku kaku untuk menjawab pertanyaan beliau.

"Bissmillah Kyai, kulo sampun siap, Birul walidain, menuntut ilmu dengan memperoleh doa dan restu saking Kyai, abah dan juga Umi, insyaAllah Gusti Allah juga meridhoi langkah kaulo untuk mondok, ngabdi ten ndalem kyai, kulo nyuwun pangestunipun"

Ya Allah tuhanku, darimana aku punya keberanian menjawab demikian?? Darimana kalimat ini kuperoleh??
Meluncur begitu saja, membuat abah dan umi tersenyum.haru melihatku.

"Alhamdulillah cah ayu, sampean wis mantep mondok! InsyaAllah kabeh ono dalan e!"

"Alhamdulillah, kulo nyuwun bimbingan dan barohakipun kyai kulo suwun damel rubi"

Seketika abahku, menciumi tangan kyai.

Tak lama setelah itu kami sekeluarga memutuskan untuk pulang, tak banyak cerita sepanjang pulang, hanya terlihat beberapa lampu menerangi jalanan.
Kami berhenti di masjid untuk menjama' sholat maghrib dan isya. Menghembuskan nafas lelah.
Di sebelah masjid terdapat warung kecil.

Abah meminta tolong pada dek Faiz memesan beberapa minuman hangat untuk pengganjal perut.
Masih berada di serambi masjid ini, dengan menyeruput teh hangat ku. Aku memandang langit yang begitu cerah malam ini. Memandang bulan yang menggantung begitu indah malam hari ini. Subhanallah aku terkesima, bagaimana bisa rembulan sebesar itu menggantung tanpa seutas tali? Dan tidak tergelincir sama sekali?
Ya allah ada begitu banyak rahasia dan ketidaktahuan manusia terhadap kuasaMU. Lalu bagaimana manusia masih saja bersikap sombong dengan ketidaktahuan itu sendiri?
Aku merenungi nasib, membuat pertanyaan pada diri sendiri. Apa hakikatnya diriku ini? Siapa aku? Bagaimana kelanjutan kisah hidupku? Atau kapan akan ku temui kematianku?

Teh di gelasku yang semula penuh, tak terasa hampir habis, dan abahku mengajakku meneruskan perjalannya.
Abah juga mengajak mampir rumah makan. Aku tidak selera sehingga aku lebih berdiam diri duduk di mobil saja. Biar abah umi dan yang lain saja yang turun.

Entah mengapa ini bisa se galau ini rasanya akan meninggalan mereka untuk menuntut ilmu.
Lamunanku terus tertuju pada rembulan, sembari aku membunyikan musik dan mendengarkannya via earphone.
Hanya melodi tak bersuara yang ku dengar kali ini. Begitu indah begitu syahdu, begitu melankolis lengkap dengan vibes galaunya.
Aku tertidur dalam bayang-bayang kidung rembulanku kali ini. Terus terlelap hingga membuatku tak sadarkan diri.
Mengalun jauh meninggalkan kenangan-kenangan masa lalu yang ku lalui dengan abah dan umi di Lirboyo.
Kini kisah hidupku baru akan di mulai.
Perjuangan menuju hari hari baru penuh dengan perjuangan masa depan akan ku pertaruhkan.
Membuat bangga Abah dan umi itu adalah tujuanku.
Tanpa mereka aku bukanlah siapa-siapa.

Permata Bening Sang AbiiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang