Penggemar Rahasia

4.2K 247 2
                                    




"Terima kasih, Pak," ucapku saat kami tiba di depan Paud Bunda untuk menjemput anak-anakku.

"Aku tunggu di sini, nanti aku antar kalian pulang," ucap Pak Hasan saat aku akan turun dari mobil.

"Terima kasih, Pak. Biar kami pulang sendiri. Nanti. Bapak telat lagi pertemuannya," tolakku.

"Pertemuan dibatalkan." Pak Hasan membuka pintu, dia turun terlebih dahulu. Aku pun mengikutinya. Kami masuk ke dalam sekolah untuk menjemput anak-anak.

Seperti biasa, Nela dan Neli sudah dalam keadaan bersih dan harum.

"Bunda ...." Mereka berlari kecil menghampiriku. Aku berjongkok dan memeluk mereka.

"Yuk pulang," ajakku.

Pada saat melihat Pak Hasan, mereka memandang pria itu heran. "Siapa, Bunda?" tanya Neli.

"Teman kerja, Bunda." Aku mengusap rambut Neli.

"Sama kaya Om Herman ya, Bunda?" tanya Nela.

Aku menoleh ke belakang, memandang Pak Hasan yang berdiri di belakangku.

"Beda, Sayang. Om Herman itu teman Bunda waktu bekerja di tempat yang dulu. Kalau Pak. Hasan ini, atasan Bunda di tempat kerja yang baru," terangku.

Pak Hasan mendekati Nela dan Neli. Dia berjongkok memandang mereka. "Kalian mau snak sama susu tidak?" tanyanya.

"Snak apaan, Om?" tanya Nela.

"Ada ... Om Bawa banyak di mobil. Semua untuk kalian."

"Hore ...." Nela dan Neli meloncat kegirangan.

Pak Hasan tampak tersenyum memandang mereka.

"Bukannya untuk anak Bapak, ya! Kenapa diberikan kepada anak-anak saya, Pak?" tanyaku heran.

"Karena mereka juga anak-anak saya."

Pak Hasan berjalan, mengikuti Nela dan Neli yang sudah melangkah di depan. Aku pun menyusul mereka, menjajarkan diri dengan Pak Hasan.

"Maksudnya apa, Pak?"

"Kamu bekerja sama saya, jadi saya anggap anak-anak kamu seperti anak saya juga," ucapnya santai.

Pak Hasan berjalan dengan tangan kanan masuk ke kantong celana.


Penampilan Pak Hasan tampak sempurna. Badannya ideal, tinggi, dan tampan. Dia berjalan mendekati Nela dan Neli, menggandeng kedua tangan mereka sampai ke tempat mobil Pak Hasan di parkirkan.

Ketika sampai di mobil, Pak Hasan mengeluarkan snak yang dibelinya di minimarket tadi dan menyerahkan semuanya pada Nela dan Neli.

Anak-anak senang sekali mendapatkan jajanan yang begitu banyak darinya. Di sepanjang perjalanan mereka terus saja bercerita kegiatan mereka seharian di sekolah.

Pak Hasan mengantarkan kami sampai ke rumah. Sebelum pulang, dia berbicara secara berbisik-bisik dengan kedua putriku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka tampak bahagia sekali.

"Aku pulang dulu, ya!" pamitnya setelah kami tiba di rumah.

"Mampir dulu, Pak," tawarku.

"Terima kasih lain kali saja."

"Terima kasih untuk semuanya, Pak."

"Sama-sama."

Aku turun terlebih dahulu, kemudian menghampiri anak-anak, menurunkan mereka. Pak Hasan juga membantu menurunkan mereka dari mobil.

Setelah semua turun, Pak Hasan pun pamit pulang. Aku memandang kepergian pria itu, hingga mobilnya hilang ditelan jalanan. Aku merasakan ada getar-getar aneh dalam dada.

***

Tiga hari kemudian ....

Hari ini aku ada janji dengan Sandi-sahabat Pak Hasan-pengacara yang kami bicarakan tempo hari. Semua persyaratan yang dibutuhkan pun sudah aku siapkan.

Kemarin aku sudah menghubungi Sandi. Menanyakan segala hal tentang perceraian. Semua dia yang akan menangani.

Pada saat berdiri menunggu angkutan, sebuah mobil. berhenti tepat di hadapanku. "Rei." Pak Herman membuka kaca mobilnya. "Mau ke mana?" tanyanya.

Aku menyebutkan alamat kantor Sandi.

"Ayo aku antar," tawarnya.

"Terima kasih, Pak biar saya naik angkutan saja."

Pria itu turun dari mobil dan berjalan mendekatiku. Pak Herman masih saja mengikutiku. Walaupun aku sudah tidak bekerja di kafe Mila dan beberapa kali aku menolaknya. Sikapnya terkadang kasar, terkadang juga baik. Entah apa mau pria itu.

"Ayolah Rei," pintanya.

"Maaf, Pak. Saya naik angkutan saja."

"Rei, aku masih menunggumu, hingga kamu siap untuk menjadi istriku."

"Maaf, Pak. Silakan Bapak cari saja wanita lain, karena saya tidak bisa." Aku menangkupkan tangan di depan dada.

Aku sungguh tidak nyaman berada di dekat Pak Herman. Akan tetapi, pria itu terus saja memaksa agar aku ikut bersamanya.

"Rei jika kamu masih marah terhadap sikapku saat di kafe. Aku mohon maafkanlah aku, Rei." Pria itu terus saja mengiba.

"Tanpa Bapak meminta maaf pun, aku sudah memaafkan."

Pria itu terus saja menggangguku.

Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang