Aku begitu terharu melihat kedekatan anak-anak dengan Pak Hasan. Pria itu berbeda sekali dengan Mas Randi, yang jarang sekali bermain, bercanda, ataupun memerhatikan anak-anak.
Dulu ketika pulang kerja, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan bermain HP. Segala urusan rumah dan anak-anak aku sendiri yang mengurus.
“Om, ayo mampir dulu,” ajak Neli.
“Terima kasih, Sayang. Nanti lain kali aja, Om mampirnya.
Nela dan Neli masuk ke dalam rumah. Aku pun membalikkan badan untuk menyusul mereka.
“Rei.” Pak Hasan memanggilku, seketika aku menoleh ke arahnya.
Pak Hasan berdiri menatapku. Entah mengapa seketika jantungku berdegup kencang setiap kali pria itu memandangku seperti itu. “Aku akan segera membicarakan hubungan kita dengan, Umi.”
Aku begitu terkejut dengan perkataannya. Seserius itukah dia terhadapku.
“Pak, tolong pertimbangkanlah dulu perkataan Bapak. Apa tidak terlalu cepat? Aku takut, Umi tidak menerimaku.”
“Aku yakin, Umi akan merestui hubungan kita,” ucapnya mantap.“Tidak mungkin kita terus-terusan seperti ini. Lama kelamaan tetangga akan membicarakan kita. Kamu tidak inginkan kalau ada fitnah di antara kita?”
Aku menggelengkan kepala, merasa ngeri juga membayangkan pada tetangga membicarakanku. Apalagi ibu-ibu kompleks sini. Mereka sangat tajam dalam berbicara. Dulu mereka pernah menggunjingkanku, sungguh sangat sakit rasa hati saat mendengar ucapan mereka.
Sebenarnya aku belum siap untuk kembali menikah. Tidak hanya trauma masa lalu, tapi sosok Humaira juga menghantui pikiranku. Aku takut kehadirannya akan berpengaruh dalam kehidupan kami.
“Pak, bagaimana hubungan Bapak dengan Humaira? Apakah Bapak masih mencintainya?” Aku memandang wajah pria itu. Lebih baik aku menanyakan perasaan Pak Hasan terhadap Humaira secara langsung untuk menghilangkan sedikit rasa ke khawatirkanku.
“Humaira adalah masa laluku dan kamu adalah masa depanku. Memang, dulu aku sangat mencintainya dan sangat sulit untukku melupakannya. Akan tetapi sejak melihatmu pertama kali, ada sesuatu yang berbeda. Awalnya aku tidak menyadari kalau itu cinta. Namun, lambat laun, ketika aku tidak melihatmu sehari saja, rasanya seperti ada yang hilang.”
Mataku berkaca-kaca, mulutku pun terkunci rapat, tak mampu berkata apa-apa mendengar ungkapan hatinya.
“Tahukah kamu?” Pak Hasan berjalan mendekati mobil dan menyadarkan badannya. “Setiap hari aku ke butik, bukan untuk minum kopi buatan Meisa. Akan tetapi, aku ke butik untuk melihatmu.”
Aku semakin tak percaya mendengar pengakuannya.
“Reina, tetaplah di sampingku dan menualah bersamaku.”
Aku tak kuasa menahan haru, seketika tangisku pecah.
Aku menganggukkan kepala. “Aku akan mempertimbangkannya, berilah aku waktu hingga esok hari. Insya Allah aku akan menjawabnya.”
“Baiklah, aku akan menunggumu.”
“Bunda!” teriak Neli. Dia tampak menarik-narik pintu, mencoba membukanya. Terlalu hanyut berbicara dengan Pak Hasan. Aku melupakan mereka. Ternyata kunci rumah masih di dalam tas.
“Rei, aku pulang dulu,” pamit Pak Hasan. Dia juga melambaikan tangan pada anak-anak.
Aku bergegas mengusap air mata di pipi dan berjalan menghampiri mereka.
***
Malam sudah mulai larut, anak-anak sudah tertidur lelap. Aku menatap wajah mereka yang tampak imut saat tertidur. Mereka kekuatan dan kelemahanku.
Aku menciumi mereka berdua secara bergantian, rasanya begitu bahagia memiliki mereka berdua. Entah bagaimana jadinya diriku tanpa mereka.
Aku merebahkan diri samping mereka. Mencoba memejamkan mata untuk beristirahat melepaskan rasa lelah setelah bekerja seharian. Namun, pikiranku kembali melayang, memikirkan Pak Hasan.
Pria itu sangat baik terhadapku dan anak-anak. Aku sangat bimbang harus memberikan jawaban apa.
Hingga larut malam, mataku masih enggan terpejam. Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Hanya suara berkoak katak setelah hujan turun yang memecah keheningan malam.
Aku pun beringsut turun dari tempat tidur. Berjalan menuju kamar mandi, mengambil air wudu untuk menunaikan salat sunah istiqarah. Aku berharap Allah akan menunjukkan pilihan terbaik untukku. Usai berdoa dan berzikir. Aku membaca mushaf, hingga tanpa sadar aku terlelap.
***
Pada saat jam makan siang, Pak Hasan menghampiriku di butik.
“Rei, apa kami sedang sibuk?” tanyanya.
“Pak Hasan mau kopi? Biar saya buatkan sebentar.” Aku melangkahkan kaki akan meninggalkannya. Namun, tanganku berhasil di raihnya.
“Rei, aku menunggu jawabanmu. Ikut aku sebentar.” Pak Hasan melepaskan tanganku. Dia berjalan keluar ruangan. Aku mengikuti langkahnya di belakang. Menyadari hal itu, Pak Hasan seketika menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badan dan menatapku.“Jangan berjalan di belakangku. Berjalanlah di sampingku,” pintannya.
Mendengar hal itu, Fatimah dan Sifa memandangku. Aku pun maju beberapa langkah, menjajarkan diri dengannya.
***
“Reina, apa jawabanmu atas permintaanku semalam?” ucapnya to the point saat kami duduk di sebuah restoran.
“Permisi ....” Tiba-tiba Seorang pelayan menghampiri kami, dia mengantarkan pesanan. Dua Abuba Sirloin Steak yaitu daging bagian atas sapi yang terdapat jalur lemaknya di sisi atas. Lemak tersebut memberikan aroma harum saat di panggang dan dua gelas mocktail.
“Reina Atmaja, apa jawabanmu atas pertanyaku semalam?” Pak Hasan kembali bertanya.
Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang terbuat dari bahan beludru, dari saku jasnya. Pak Hasan mengulurkan kotak tersebut di hadapanku. Dia membukanya. Ada sebuah cincin emas bermata putih di dalamnya.
Aku menutup mulut dengan satu tangan karena terharu, melihat kesungguhan Pak Hasan untuk menikahiku. Dia pun tak segan menyatakan perasaannya di hadapan orang banyak.
Pengunjung restoran memandang ke arah kami. Kebetulan, siang itu, restoran ramai karena merupakan jam makan siang. Aku memandang ke seluruh ruangan restoran yang tak terlalu luas.
“Terima ... terima ....” ucap beberapa pengunjung restoran.
Aku merasakan jantungku berdegup kencang diikuti tubuh yang ikut bergetar. Walau hampir setiap hari kami bertemu. Namun, aku selalu merasakannya saat dipandang oleh Pak Hasan. Apalagi pada saat ini seluruh mata tertuju pada kami.
Aku menundukkan pandangan, berharap dapat menghilangkan sedikit rasa grogi dalam diri. Aku membaca bismillah dalam hati. Semoga keputusan yang akan diambil adalah yang terbaik untuk kami.
Aku memandang Pak Hasan dan menganggukkan kepala. “Aku menerima lamaran Pak Hasan,” ucapku lirih.
“Apa kamu bilang?” Dia mendekatkan telinganya, hingga kami hanya berjarak beberapa cengkal saja.
Aku memandangnya. “Aku mau menikah dengan, Pak Hasan,” ucapku mengulangi perkataan dengan sedikit keras.
“Alhamdulillah.” Pak Hasan tersenyum bahagia. “Terima kasih, Rei. Aku sangat bahagia mendengarnya.”
Aku membalas senyum pria itu. Dia lantas menyematkan cincin ke jari manisku.
Walaupun, bukan pertama kalinya aku dilamar. Namun, ada kebahagiaan yang berbeda saat Pak Hasan menyatakan keinginannya untuk menikah denganku.
“Terima kasih, Pak. Bapak sudah begitu baik kepada saya dan anak-anak.” Aku meraih mocktail di hadapanku dan meminum.
“Coba panggil aku sekali lagi.” Pak Hasan mendekatkan wajahnya kepadaku.
Ya ampun, pria itu mau hampir saja membuat jantungku meloncat dari tempatnya.
“Pak ....”
Sebelum selesai berbicara, Pak Hasan menyela. “Loh, kok Pak, sih?!” Dia memandangku dan mengernyitkan dahi. “Panggil Mas atau Hasan saja lebih baik. Jangan panggil aku Pak Hasan, karena terlalu formal.”
Aku menganggukkan kepala. “Baik, Pak, eh ... Mas.”
“Nah, kalau begitukan lebih enak di dengar.” Pria itu lantas memotong steak di hadapannya, menusukkan garpu pada daging yang sudah terpotong. Pak Hasan mengulurkan daging ke mulutku.
“Ak ....” Dia memintaku membuka mulut dan menyuapkan daging ke dalam mulutku.
Dulu Mas Randi juga melakukan hal yang sama pada awal-awal hubungan kami. Namun, ketika kami memiliki Nela dan Neli semua mulai berubah. Aku berharap pria di hadapanku ini tidak akan pernah merubah sikapnya padaku. Semoga Allah mempermudah langkah dan segera mempersatukan kami dalam sebuah ikatan yang halal.Tamat
Yang belum puas dengan ending wp bisa ke KBM App. Terima kasih untuk yg sudah mengikuti. Salam hangat emak empat anak 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)
RomanceReina seorang ibu rumah tangga yang dikhianati suaminya. Dia lebih memilih melepaskan suaminya, dari pada pria itu terjerumus dalam dosa. "Bersedih adalah suatu hal yang wajar, tapi jangan sampai kesedihan tersebut melemahkan hatimu, hingga kamu ber...