Bab 20 Tangis Bahagia

7.1K 246 3
                                    


Aku begitu terharu melihat kedekatan anak-anak dengan Pak Hasan. Pria itu berbeda sekali dengan Mas Randi, yang jarang sekali bermain, bercanda, ataupun memerhatikan anak-anak.


Dulu ketika pulang kerja, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan bermain HP. Segala urusan rumah dan anak-anak aku sendiri yang mengurus.

"Om, ayo mampir dulu," ajak Neli.

"Terima kasih, Sayang. Nanti lain kali aja, Om mampirnya.

Nela dan Neli masuk ke dalam rumah. Aku pun membalikkan badan untuk menyusul mereka.

"Rei." Pak Hasan memanggilku, seketika aku menoleh ke arahnya.


Pak Hasan berdiri menatapku. Entah mengapa seketika jantungku berdegup kencang setiap kali pria itu memandangku seperti itu. "Aku akan segera membicarakan hubungan kita dengan, Umi."

Aku begitu terkejut dengan perkataannya. Seserius itukah dia terhadapku.

"Pak, tolong pertimbangkanlah dulu perkataan Bapak. Apa tidak terlalu cepat? Aku takut, Umi tidak menerimaku."

"Aku yakin, Umi akan merestui hubungan kita," ucapnya mantap.

"Tidak mungkin kita terus-terusan seperti ini. Lama kelamaan tetangga akan membicarakan kita. Kamu tidak inginkan kalau ada fitnah di antara kita?"

Aku menggelengkan kepala, merasa ngeri juga membayangkan pada tetangga membicarakanku. Apalagi ibu-ibu kompleks sini. Mereka sangat tajam dalam berbicara. Dulu mereka pernah menggunjingkanku, sungguh sangat sakit rasa hati saat mendengar ucapan mereka.

Sebenarnya aku belum siap untuk kembali menikah. Tidak hanya trauma masa lalu, tapi sosok Humaira juga menghantui pikiranku. Aku takut kehadirannya akan berpengaruh dalam kehidupan kami.

"Pak, bagaimana hubungan Bapak dengan Humaira? Apakah Bapak masih mencintainya?" Aku memandang wajah pria itu. Lebih baik aku menanyakan perasaan Pak Hasan terhadap Humaira secara langsung untuk menghilangkan sedikit rasa ke khawatirkanku.

"Humaira adalah masa laluku dan kamu adalah masa depanku. Memang, dulu aku sangat mencintainya dan sangat sulit untukku melupakannya. Akan tetapi sejak melihatmu pertama kali, ada sesuatu yang berbeda.
Awalnya aku tidak menyadari kalau itu cinta. Namun, lambat laun, ketika aku tidak melihatmu sehari saja, rasanya seperti ada yang hilang."


Mataku berkaca-kaca, mulutku pun terkunci rapat, tak mampu berkata apa-apa mendengar ungkapan hatinya.

"Tahukah kamu?" Pak Hasan berjalan mendekati mobil dan menyadarkan badannya. "Setiap hari aku ke butik, bukan untuk minum kopi buatan Meisa. Akan tetapi, aku ke butik untuk melihatmu."

Aku semakin tak percaya mendengar pengakuannya.

"Reina, tetaplah di sampingku dan menualah bersamaku."

Aku tak kuasa menahan haru, seketika tangisku pecah.

Aku menganggukkan kepala. "Aku akan mempertimbangkannya, berilah aku waktu hingga esok hari. Insya Allah aku akan menjawabnya."

"Baiklah, aku akan menunggumu."

"Bunda!" teriak Neli. Dia tampak menarik-narik pintu, mencoba membukanya. Terlalu hanyut berbicara dengan Pak Hasan. Aku melupakan mereka. Ternyata kunci rumah masih di dalam tas.

"Rei, aku pulang dulu," pamit Pak Hasan. Dia juga melambaikan tangan pada anak-anak.

Aku bergegas mengusap air mata di pipi dan berjalan menghampiri mereka.

***

Malam sudah mulai larut, anak-anak sudah tertidur lelap. Aku menatap wajah mereka yang tampak imut saat tertidur. Mereka kekuatan dan kelemahanku.

Aku menciumi mereka berdua secara bergantian, rasanya begitu bahagia memiliki mereka berdua. Entah bagaimana jadinya diriku tanpa mereka.

Aku merebahkan diri samping mereka. Mencoba memejamkan mata untuk beristirahat melepaskan rasa lelah setelah bekerja seharian. Namun, pikiranku kembali melayang, memikirkan Pak Hasan.

Pria itu sangat baik terhadapku dan anak-anak. Aku sangat bimbang harus memberikan jawaban apa.

Hingga larut malam, mataku masih enggan terpejam. Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Hanya suara berkoak katak setelah hujan turun yang memecah keheningan malam.

Aku pun beringsut turun dari tempat tidur. Berjalan menuju kamar mandi, mengambil air wudu untuk menunaikan salat sunah istiqarah.

Aku berharap Allah akan menunjukkan pilihan terbaik untukku. Usai berdoa dan berzikir. Aku membaca mushaf, hingga tanpa sadar aku terlelap.

***

Pada saat jam makan siang, Pak Hasan menghampiriku di butik.

"Rei, apa kami sedang sibuk?" tanyanya.

"Pak Hasan mau kopi? Biar saya buatkan sebentar." Aku melangkahkan kaki akan meninggalkannya. Namun, tanganku berhasil di raihnya.

"Rei, aku menunggu jawabanmu. Ikut aku sebentar." Pak Hasan melepaskan tanganku. Dia berjalan keluar ruangan. Aku mengikuti langkahnya di belakang. Menyadari hal itu, Pak Hasan seketika menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badan dan menatapku.

"Jangan berjalan di belakangku. Berjalanlah di sampingku," pintannya.


Mendengar hal itu, Fatimah dan Sifa memandangku. Aku pun maju beberapa langkah, menjajarkan diri dengannya.

***

"Reina, apa jawabanmu atas permintaanku semalam?" ucapnya to the point saat kami duduk di sebuah restoran.

"Permisi ...." Tiba-tiba Seorang pelayan menghampiri kami, dia mengantarkan pesanan. Dua Abuba Sirloin Steak yaitu daging bagian atas sapi yang terdapat jalur lemaknya di sisi atas. Lemak tersebut memberikan aroma harum saat di panggang dan dua gelas mocktail.

"Reina Atmaja, apa jawabanmu atas pertanyaku semalam?" Pak Hasan kembali bertanya.

Bersambung ....


Kurelakan Suamiku Untukmu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang