Will You Marry Me ?

16K 742 4
                                    

Aku dan Revan menggunakan Jaguarnya sedang  melaju membelah kota Jakarta untuk menuju ke Puncak. Kami akan mendatangi salah satu pusat latihan Lion Federation yang ada di Puncak. Aku meminta Revan untuk mengajarkanku menembak jarak jauh. Walau awalnya Revan tidak menyetujuinya karena menurutnya sniper di Lion Federation sudah lebih dari cukup, namun aku mengancamnya dengan tidak akan lagi memasak makanan untuknya kalau dia tidak mau mengajariku. Dan akhirnya disinilah kami. Revan sedari tadi hanya cemberut dan tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku hanya tertawa di dalam hati. Laki-laki berumur 26 tahun itu seperti anak berumur 5 tahun yang tidak diberikan permen oleh orang tuanya.

Aku pun mengambil kotak bekal yang kutaruh di kursi belakang. Tadi sebelum berangkat aku sempat membuat ommelette kari untuk dibawa ke Puncak. Sebelumnya Revan pernah bilang kalau ommelette buatanku sangat enak. Aku sudah bisa menduga kalau dia akan ngambek. Semoga dia mau disogok sama ommelette.

“Mas?”

“Hmm.” Tuh kan jawabannya tidak niat sama sekali.

“Kamu laper nggak?”

“Nggak.”

“Yaudah, ommelettenya aku saja yang makan ya. Aku lapar banget tadi pagi belum makan. Kamu beneran nggak mau. Kan tadi pagi kamu belum makan juga.” Kulihat dia melirik sekilas. Sepertinya dia sedikit tergoyahkan.

“Nggak.” Dia masih bersikeras juga. Aku pun membuka kotak bekal tersebut. Aroma dari karinya menyeruak ke permukaan. Kutiup-tiup agar aromanya lebih menyebar. Siapa tahu Revan tambah tergoyahkan. Aku pun menyendokkan ke mulutku. Sambil berguman keenakkan. Tiba-tiba saja Revan menepikan mobilnya. Yes.. berhasil.

“Vania, kamu membuat kita mati sia-sia gara-gara aku nggak konsen liat kamu makan gitu.” Omelnya. Aku tidak menjawab. Hanya menyedokkan omelette lalu mengarahkannya ke mulut Revan.

“Maaf ya Sayang. Jangan ngambek lagi dong. Sekarang aaa.. aku tahu kamu lapar.” Diapun membuka mulutnya lalu memakan makanan yang ku beri. “anak pintar. Yuk kita makan dulu. Baru lanjut jalan.” Ucapku sambil memberi sendok lainnya ke dia. Kami pun mulai memakannya dalam diam.

“Sayang?” panggilnya lembut.

“Apa?”

“Aku seneng kamu panggil aku ‘sayang’.” Ucapnya kemudian. Aku yang saat itu sedang menyuap makanan ke mulutku langsung tersedak.

“Kapan aku panggil kamu ‘sayang’.” Ucapku pelan sambil menundukkan kepala. Aku sepertinya terbawa suasan tadi. Tapi sepertinya tak apa sekali-kali memanggil dia seperti itu.

“Kayak gitu aja malu.” Revan pun mengangkat daguku. Mau tak mau aku menatap mata coklatnya yang menghipnotis itu. “Sering-sering panggil aku kayak gitu yah.” Lalu diapun mencium bibirku sekilas.

“Iya.” Aku tersenyum lalu kami kembali menghabiskan makanan yang kubawa. Sepertinya dia memang tidak berbakat untuk ngambek.

“Udah nggak ngambek lagi nih?” tanyaku saat mobil sudah mulai berjalan kembali.

“Gara-gara ommelette sialan itu. aku jadi lupa sama acara ngambekku.” Jawabnya sambil mengerucutkan bibirnya. Aku hanya tertawa mendengar jawaban itu. dasar Revan. “Sudah puas tertawanya nona Damian.”

“Wah sepertinya kamu bener-bener marah nih sampe manggil aku kayak gitu.” Aku pun menarik nafas panjang agar benar-benar berhenti tertawa. Aku pun mengacak rambutnya. Diapun menangkap tanganku lalu menggemgamnya hangat dan menaruhnya di pahanya.

“Aku nggak akan bisa marah lama-lama ke kamu.”

Setelah latihan menembak selama tiga jam aku dan Revan sudah duduk santai di gazebo yang ada disana. Aku menghirup udara sangat dalam. Latihannya sungguh melelahkan. Ternyata menembak jarak jauh tidak segampang yang kupikirkan. Banyak hal yang harus di perhatikan untuk mendapatkan akurasi yang tepat seperti jangkauan target, arah angin, kecepatan angin, tinggi sniper dan target, dan temperatur di sekitar. Selain itu sebagai sniper harus tahu tempat dan teknik persembunyian, relokasi dan sebagainya. Karena memang semboyan yang terkenal bagi para sniper adalah one shoot, one kill, tidak ada yang namanya meleset.

Love FighterWhere stories live. Discover now