Ah, pawai....
Pawai selalu merupakan hal terbaik yang hadir di kota kami. Para orang tua membawa anak-anak mereka keluar, termasuk jabang bayi merah jambu yang terbelenggu dalam gendongan, berdiri di depan toko-toko di jalan utama untuk menyaksikan pawai lewat.
Dimulai dengan pasukan berkuda yang berlari berderap dan menari melontarkan pita-pita warna warni. Disusul marchingband yang memainkan lagu-lagu perjuangan sesekali diselingi lagu pop terbaru. Di belakangnya tiga ekor gajah dari kebun binatang ditunggangi putra-putri gubernur, dan oleh pawang mereka diarahkan untuk mengibaskan belalai-belalai, memaksa mundur penonton yang mendesak ke tengah melanggar batas bahu jalan.
Mobil pemadam kebakaran yang baru dicat ulang dengan warna merah terang, tertinggal di belakang, siap menembakkan bergalon-galon air untuk mendinginkan semangat penonton yang berlebihan hingga nyaris anarkis.
Menyusul para veteran tua, berbaris dengan gagah tak peduli usia. yang cerdas meski usianya. Seragam mereka tipis kaku berkanji disterika licin tanpa keriput, sepatu lars mengilat awet karena semir kaleng, sinar mata menyorot teduh berguru waktu dalam panjang gelombang cahaya merah kasat jiwa.
Walikota berdiri di belakang sebuah mobil jip terbuka, tersenyum dan melambai. Payudaranya yang montok membengkak penuh oleh air susu yang mampu membesarkan bayi-bayi warga termiskin pemukiman kumuh di pinggiran.
Setelah itu berbagai mobil hias yang disponsori berbagai dinas dan departemen, serikat kerja dan asosiasi pengusaha membuat pundi-pundi pemilik toko kembang menggelembung. Peserta dari Perusahaan Listrik mendorong mobilnya yang mogok, menara tegangan tinggi dari bambu menyangkut di kabel udara yang melintang.Tiga kecamatan gelap gulita tanpa daya selama tiga malam kemudian.
Anak sekolah dari taman kanak-kanak hingga mahasiswa semester tiga belas berseragam jas almamater, baju pramuka , busana daerah dan lautan kibar bendera. Keringat bercucuran, mulut berbusa meneriakkan yel-yel pengobar semangat berbangsa dan bernegara, ditimpali lirik duka lara, gitar kotak sabun dan tamborin persatuan pengamen jalanan.
Dan akhirnya, sebagai hadiah untuk anak-anak kita yang sabar menonton barisan peserta pawai dari siang hingga senja menjelang, jajanan camilan yang digoreng dengan minyak jelantah bekas kemarin, sambil kita percayakan bahwa dalam sepuluh -- dua puluh tahun ke depan si anak takkan menderita obesitas atau kanker pankreas. Untuk kita sendiri segelas air tebu yang dicampur air mentah dari sumur belakang pabrik penyamakan kulit. Kita mengisapnya dengan rakus untuk menghilangkan dahag yang mencekik.
Besok kita masih harus mengantar anak-anak lomba makan kerupuk dan lompat karung. Batang pinang juga telah terpancang gagah di pinggir selokan, meski masih polos belum berlumur pelumas dosa.
Indonesia masih merupakan negara kepulauan terbesar di Bumi, dan kita akan terus merayakan tradisi tertua dan terbaik yang kita punya setelah 1945. Pulang ke rumah menyeret kaki yang lelah, kita bersyukur bahwa kita tidak lagi dijajah.
Oh, aku tak sabar menanti tanggal 17 Agustus untuk berteriak MERDEKA!
Bandung, 20 Juli 2017

YOU ARE READING
Psychopoet (Penyair Majenun)
Non-Fiction(On Going) Sketsa dan opini usil yang ditulis oleh seorang (yang mengaku) penyair majenun.