03. Ikrar

116 31 1
                                    


Mungkin tidak sebaiknya aku menjadi pemurung setiap kali memandangi koper hitam berbentuk persegi itu. Terus terang aku merindukan sesuatu yang ada di dalamnya. Sesuatu yang dalam segi apa pun tak punya rasa bersalah dibanding diriku sendri. Koper itu terbuat dari bahan fiber seperti peti tempat penyimpanan tools pada umumnya, tergeletak dan tersembunyi di antara tumpukan buku pelajaran bercampur komik yang belum kususun rapi. Tiga menit yang lalu aku masuk ke dalam kamarku yang bernuansa abu-abu gelap, berdiri mematung tatkala melewati lemari buku tanpa pintu berukuran sedang. Tentunya disebabkan bagian depan koper itu sedikit mengintip.

Aku melemparkan tas sekolah ke atas kasur. Tanganku seolah bergerak dengan sendirinya saat mengambil koper itu dari balik tumpukan buku. Ini tidak seperti hal baru, justru terasa bagai membuka luka lama. Saat koper kubuka, pistol airsoft bewarna hitam dengan lis keemasan seakan melambaikan tangannya padaku. Aku terpaku sesaat, memoriku bekerja pada peristiwa itu. Saat di mana terakhir kali aku menggunakannya dan berakhir pada malapetaka memilukan.

Aku seakan bisa mendengar suara tangis anak perempuan itu meronta-ronta. Suara ayahnya yang memaki juga menghardikku dengan kata-kata kasar. Dan hal yang paling membuatku tak bisa lupa adalah, bagaimana bentuk mata sebelah kanan anak itu yang dibanjiri air mata darah, rusak dan sungguh menakutkan memenuhi isi kepalaku.

Spontan aku menjatuhkan pistol itu ke lantai. Gemeletak suaranya menyadarkan. Ia bagai benda asing bagiku, bagai momok yang tak dapat kutepis dengan cara apa pun. Tubuhku merosot, terduduk di lantai dan bersandar pada tepi tempat tidur. Senjata itu masih terdampar di lantai, kutatap nanar dengan perasaan campur aduk. Seketika, benda itu terasa sangat menakutkan. Dia telah melukai masa depan seorang anak perempuan, dengan tanganku, dengan kecerobohanku dan aku merasa tertekan dengan ingatan yang menyakitkan itu.

Sesaat aku merasa tidak bisa mengenali diri sendiri. Pistol itu kuambil lalu kulempar asal ke pintu sepadan dengan teriakanku yang penuh amarah.

"Astaghfirulloh, Rio!" Tante Rara kaget saat membuka pintu tepat ketika pistol itu hampir mengenainya.

Aku langsung bangkit berdiri dan menghampirinya yang masih berwajah panik dengan tangan menekan dada. "Tante, maaf. Tante gak apa-apa, 'kan?" tanyaku khawatir sembari membungkuk di hadapannya.

Tante Rara menatapku, memperhatikan wajahku dengan pandangan seolah penuh tanya. "Kamu kenapa, Rio?" Matanya melirik ke arah pistol yang tergeletak di lantai, dekat dengan rodanya. Tangannya yang semula di depan dada, kini berusaha turun untuk meraih benda tersebut. "Kenapa kamu membantingnya?"

Aku berdiri menegak, melihat Tante Rara dengan rupa canggung untuk menjawab.

"Rio? Cerita sama Tante kalau kamu punya masalah. Jangan dipendam-pendam begitu."

Napasku terbuang perlahan. Kepalaku menggeleng, berjalan memunggunginya untuk duduk di atas kasur. Wajahku yang menunduk lesu barangkali terbaca dengan sangat jelas sehingga wanita itu memutuskan untuk menggulirkan kursi rodanya mendekat. Ia menaruh pistol itu di pangkuannya, memberikan jeda sesaat pada keheningan yang pendek.

"Kamu masih kesal sama Tante dan Om Juna karena kita pindah ke Jakarta?" Aku diam, tidak menjawab. "Sikap kamu berubah semenjak kita tinggal di sini. Kamu jadi lebih pendiam, jarang ngobrol sama Tante, dan lebih sering mengurung diri di dalam kamar." Tante Rara mengesahkan napas sesaat setelah jemari kanannya menyentuh pahaku. "Tante tau ini berat buat kamu, Yo. Semua ini Tante lakuin untuk kebaikan kamu. Tante pikir kamu bisa mengerti itu."

Something No TellWhere stories live. Discover now